#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 14 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org







Karena Kamu Pangeranku Part 14
Oleh: Titin Akhiroh

Ternyata menghapus seseorang dalam ingatan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Begitu juga Valerie yang tak mampu menghapus bayangan Endra dari kepalanya. Ia pikir berada jauh dan tak melihat wajah Endra akan membuatnya mudah mengubur kenangan. Namun, itu salah besar. Ia justru semakin merindukan lelaki itu. Terkadang di tengah kesunyian malam, ia menangis mengingat cinta pertamanya. Jika rindunya sudah tak tertahankan, maka ia akan memandang lukisan wajah Endra semalaman hingga menjelang pagi. Mungkin ia memang sudah gila karena Endra.
Selama hampir enam bulan ini, Valerie merasa kesepian. Meski kehadiran Tiga Sekawan mampu membuatnya sedikit bahagia, tapi tetap saja ada bagian dari dirinya yang kosong tanpa Endra. Di mana pun ia berada, pasti akan selalu teringat Endra. Tak ada tempat yang tak mengingatkan dirinya akan lelaki berambut cokelat terang itu. Dimulai dari sekolah, warung Bu Surti, rumah singgah, paviliun Tante Hesti, dan rumahnya sendiri. Terlebih ruang tamunya telah menjadi saksi awal kisah cintanya dan Endra dimulai. Di tempat ini pula ciuman pertama dan keduanya diambil oleh Endra.
“Kalo lagi belajar kayak gini, jadi ingat Endra,” celetuk Garin saat mereka berempat belajar matematika untuk UN di rumah Valerie.
Ya, sejak kepergian Endra ke Singapore, Tiga Sekawan selalu datang ke rumah Valerie. Mereka yang menjemput sekolah dan mengantarnya pulang. Mereka berempat juga sering mengajaknya jalan-jalan dari nonton, ke rumah singgah, hingga makan di warung Bu Surti. Keberadaan mereka membuat Valerie sedikit terhibur dan tak kesepian lagi.
“Dia juga belajar giat di sana buat UN. Bahkan dia bilang mau kuliah di Bandung bareng Valerie.” Juno memainkan bolpoint di tangan kiri.
“Kalian berdua bisa sama-sama terus, lha kita bertiga nggak bisa sering ketemu,” keluh Garin sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Valerie.
Tiga Sekawan memang akan melanjutkan kuliah di luar negeri. Garin dan Ello akan melanjutkan pendidikannya di Amerika, sedangkan Juno akan kuliah di Jerman.
“Kalian pergi kan untuk kuliah, untuk ngejar cita-cita. Nanti kita pasti akan ketemu lagi,” lirih Valerie.
“Yah nanti, kita semua akan jadi orang sukses!” seru Juno bersemangat.
“Aamiin,” ucap mereka berempat kompak.
Tiga Sekawan kembali berkutat dengan soal. Sementara, pikiran Valerie melambung jauh melompati beberapa dimensi waktu. Bibirnya tersenyum getir membayangkan dirinya kelak. Akan jadi seperti apa dirinya tanpa Endra? Apakah ia bisa sukses dan bisa bertemu Endra dan Tiga Sekawan lagi?

***

“Kita lulus!” teriak Ello sesaat setelah dinyatakan lulus oleh Pelita Jaya.
Bersama Tiga Sekawan, Valerie berpelukan. Meluapkan euforia kegembiraan karena berhasil menamatkan pendidikan menengah atas dengan baik. Bahagia dirasa Valerie bisa lulus dengan nilai terbaik dan nyaris sempurna. Ia juga bahagia lulus bersama tiga sahabatnya, dan lebih bahagia saat tahu Endra juga berhasil lulus. Jika saja Endra berada di sini, pasti kebahagiaannya akan menjadi sempurna.
“Endra juga lulus. Haah, aku kangen sama dia,” celetuk Juno yang diangguki Garin dan Ello. Selama enam bulan terakhir, mereka hanya bisa berjumpa via suara, video, maupun chat.
“Dua hari lagi, dia pulang. Jadi, kita berlima bisa ikut pesta perpisahan sekolah,” timpal Garin tak kalah rindunya pada Endra.
“Nggak kerasa kita udah lulus, lalu pisah dan nggak ketemu lagi.” Valerie bersuara pelan.
“Hei, kenapa sedih? Kayak mau pisah selamanya aja.” Ello merangkul pundak Valerie. “Kita pisah kan cuma sementara, saat kita lulus kuliah nanti, juga bakal ketemu. Eh, gimana kalo kita jalan?” ajaknya bersemangat.
“Aku nggak bisa ikut. Soalnya, tadi aku dipanggil kepala sekolah.”
“Kita tunggu.” Garin menjawab cepat.
“Aku nggak tahu kapan selesainya. Kalian pergi aja dulu.” Valerie bisa melihat rona kecewa ketiga sahabat tampannya itu. “Gimana kalo besok aja? Aku nggak ada privat besok, ehm?” imbuhnya.
“Oke! Kalo gitu, kita jalan besok,” jawab Ello.
“Oke, bye.” Valerie melambaikan tangan, meninggalkan Tiga Sekawan. Dengan langkah cepat, ia bergerak menuju ruang kepala sekolah.

***

Keesokan harinya Valerie menepati janji untuk pergi bersama Tiga Sekawan. Mereka melakukan agenda jalan-jalan dengan menonton bioskop, makan bersama, dan jalan berkeliling mall. Seharian mereka tertawa dan bercanda. Membuat Valerie merasa bahagia saat bersama mereka.
“Capek banget, tapi menyenangkan.” Garin berujar sembari bersandar di kursi rumah Valerie.
“Aku bakalan kangen suasana kayak gini saat di Jerman nanti.” Juno tersenyum dengan pandangan menerewang.
“Kapan kalian berangkat?” tanya Valerie sembari melihat wajah Tiga Sekawan bergantian.
“Kalo aku seminggu setelah perpisahan,” jawab Juno.
“Kalo aku dan Garin berangkat dua minggu lagi,” timpal Ello.
“Besok, habis acara perpisahan kita jalan lagi, yuk, barengan sama Endra.” Lelaki pecandu rokok itu berkelakar, hingga Garin dan Ello langsung mengangguk setuju.
“Oh ya, sampe lupa. Kita punya sesuatu buat kamu, Rie!” seru Garin menepuk keningnya. Buru-buru, ia keluar menuju mobilnya. Beberapa saat kemudian, ia kembali sambil membawa kotak, mendekati Valerie dan menyerahkan kotak itu.
Tangan Valerie terulur. “Beneran buat aku?” Tiga Sekawan mengangguk kompak.
Dibukanya kotak itu dengan berdebar. Senyum tersungging lebar di bibir Valerie saat melihat isi kotak. Di dalamnya, ada kotak perhiasan dan sebuah foto dengan bingkai yang cantik. Foto itu diambil saat ia dan Empat Sekawan selesai menonton konser dulu. Fokusnya beralih ke sebuah kotak perhiasaan, kemudian membukanya perlahan. Sebuah kalung perak berliontin bentuk hati dengan ornamen permata kecil di sisi luar, terlihat begitu indah. Gadis berbibir mungil itu meraih kalung dan membuka liontin. Sesuatu lain yang tampak indah ada di dalamnya. Ia menangis haru saat melihat fotonya bersama Empat Sekawan. Sungguh hadiah yang menurutnya luar biasa.
“Eh, kok malah nangis?” Ello terheran ketika Valerie yang mulai menangis setelah mendapatkan hadiah.
“Aku senang dapat hadiah dari kalian. Terima kasih,” ucap Valerie, lalu Tiga Sekawan memeluknya.
“Kami pingin kasih sesuatu yang bisa bikin kamu inget kami. Endra udah kasih kamu gelang. Jadi, kami putuskan kasih kalung,” ucap Juno saat melepas pelukan.
“Terima kasih banyak, tapi aku minta maaf nggak bisa kasih kalian hadiah,” lirih Valerie dengan tangan kanan menghapus air matanya.
“Justru kamu udah kasih kami banyak hadiah. Mulai dari lukisan, nemenin kita belajar, dan ngajarin banyak pelajaran hidup. Paling bikin seneng saat kamu mau jadi teman tersayang kami." Tangan kanan Garin mengacak rambut Valerie.
Senang sekali bisa memiliki teman seperti mereka.
“Aku nggak akan ngelupain kalian.” Valerie berdiri, tanpa diduga mulai memberi kecupan persahabatan ke dahi Juno, Ello, dan Garin bergantian. Sontak tubuh Tiga Sekawan berubah kaku, sedangkan mulut mereka menganga karena terlampau kaget.
“Rie, ka-kamu ....” Garin terbata, tak percaya dengan perlakuan Valerie padanya.
Valerie tersenyum geli. “Itu ungkapan sayang aku untuk kalian. Terima kasih udah jadi temanku, melindungi, dan menyayangiku. Aku sungguh bersyukur punya Endra dan kalian. Tuhan memang adil, di saat aku sendiri, Dia kirim empat orang yang berarti dalam hidupku. Makanya, aku selalu manggil kalian ... My Guardian Angels. Aku sayang kalian semua.” Senyumnya makin lebar, hingga menular pada Tiga Sekawan.
“Untung nggak ada Endra. Kalo ada, kami bisa dicekik, Rie, lihat kamu nyium kami.”
Valerie terkekeh mengingat Endra yang begitu posesif padanya.
“Kami balik dulu, ya.” Garin pamit sambil berdiri.
“Besok, aku jemput.”
Valerie menggeleng cepat. “Nggak usah jemput. Besok, aku mau pergi ke makam Ibu sebelum pesta perpisahan. Habis itu, aku mau ke beberapa warung yang dulu sering aku titipin cokelat dan kue. Aku mau bilang terima kasih, sekaligus pamit sebelum pergi ke Bandung.”
Garin mengangguk mengerti, kemudian berjalan mengikuti Ello dan Juno ke halaman, tempat di mana mobilnya terparkir.
“Hati-hati, ya!” seru Valerie dengan melambaikan tangan pada Tiga Sekawan.

***

Hati Endra berdebar tak sabar. Berulang kali matanya tertuju pada Victorinox Swiss Army yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.30, tapi kemacetan belum juga terurai. Beruntung acara perpisahan baru akan dimulai jam sepuluh.
Endra menutup matanya. Bayangan wajah Valerie yang tersenyum langsung berkelebat. Enam bulan berada jauh dari Valerie benar-benar membuatnya gundah. Ia begitu merindukan Valerie, Peri Valentine-nya. Bibirnya menyunggingkan senyum karena kurang dari dua jam, ia akan bertemu Valerie. Tinggal hitungan menit, ia dapat melarung rindunya selama enam bulan terakhir. Ia dan gadisnya tidak akan kembali terpisah karena gadis bersurai brunette telah berjanji untuk menjadi kekasihnya lagi. Untuk kali ini, ia tidak akan melepas Valerie. Meski masih terlalu dini, tapi ia sudah merangkai masa depannya dengan sang gadis. Dimulai dengan berkuliah di universitas yang sama dan berharap mampu membawa hubungan cinta hingga jenjang lebih serius.
“Sekarang, kamu sudah besar, Ndra. Sebentar lagi kuliah. Apa kamu jadi kuliah di Bandung sama Valerie?” tanya Diandra yang duduk di jok belakang mobil dengan Budi.
Endra membuka matanya. “Ya, Ma. Aku akan kuliah di tempat yang sama dengannya. Mama dan Papa nggak keberatan, 'kan?”
“Tentu tidak, Sayang,” sahut Diandra dengan tersenyum.
Satu jam kemudian, mobil yang ditumpangi Endra memasuki pelataran Pelita Jaya. Senyum Endra mengembang melihat bangunan yang telah memberinya banyak kenangan. Pandangannya tertuju pada atap gedung B, tempat yang menjadi saksi kebersamaannya dengan Valerie dan Tiga Sekawan.
Endra turun dari mobil. Udara khas Jakarta menerpa wajahnya. Di kejauhan, ia bisa melihat Garin, Ello, dan Juno melambaikan tangan padanya. Ia tersenyum, menghampiri tiga sahabat hebatnya. Mereka berpelukan erat menumpahkan rindu selama enam bulan tak bertemu. Para orang tua juga saling menyapa dengan peluk cium seperti biasa. Persahabatan yang terjalin di antara anak-anak rupanya menular hingga ke para orang tua. Setelah puas memeluk Tiga Sekawan, Endra segara mencium tangan dan pipi orang tua ketiga sahabatnya.
Mata kucing Endra mengedar, mencari keberadaan Valerie. Namun, cukup lama ia mencari, sosok yang dicari dan dirindukannya tak juga menampakkan diri.
“Valerie mana? Kok dia nggak ada?” tanya Endra yang tak sabar. Sementara, Tiga sekawan menggeleng tak tahu.
“Kita juga lagi nunggu dia,” balas Juno.
“Lho, kalian nggak jemput dia?” Endra melihat ke arah Tiga Sekawan bergantian.
“Kemarin, aku udah bilang mau jemput, tapi Valerie nolak. Dia bilang pingin pergi ke makam Ibu sebelum ke sini.” Ucapan Garin menarik perhatian Budi dan Diandra.
“Valerie pergi ke makam ibunya?” tanya Budi dan Garin mengangguk.
“Ya, Pa. Semalam, dia bilang mau ke makam ibunya sebelum ke sini.” Garin menyahut sopan.
Jika Tiga Sekawan memanggil Arumi dengan sebutan Ibu, maka mereka memanggil Budi dan Diandra dengan sebutan 'Papa dan Mama'. Sama halnya Endra yang menyebut orang tua Tiga Sekawan dengan sebutan 'Mommy dan Daddy'. Sedekat itulah hubungan mereka.
“Kalian tahu makam ibunya di mana?” Budi tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya.
“Tahu, Pa. Dekat rumahnya.” Kini, giliran Juno yang menjawab.
“Nanti setelah acara, tolong antarkan Papa dan Mama ke rumah Valerie, ya,” ucap Diandra tiba-tiba.
Endra menoleh, menatap tajam Diandra. “Mau apa?”
“Mama dan Papa sudah sepakat mau mengajak Valerie tinggal bersama di rumah,” ucap Diandra tenang tanpa beban.
“Emangnya Valerie mau?” Endra mulai gusar. Tentu saja ia was-was karena permintaan mamanya bisa membuat Valerie kembali tak nyaman. Bagaimana bisa mamanya punya pemikiran bahwa Valerie bersedia tinggal bersama? Karena ia yakin jika gadisnya tidak akan pernah sudi berdekatan dengan seseorang yang sudah menaburkan banyak luka.
“Dulu, Mama sudah memintanya tinggal, tapi dia menolak. Dan sekarang, Mama ingin mencobanya lagi. Siapa tahu Valerie mau tinggal bersama kita,” jawab Diandra penuh harap.
“Valerie nggak akan mau. Dan aku juga nggak setuju dia tinggal di rumah.” Endra berucap tajam. Ia mulai sedikit emosi dengan permintaan Diandra. Rencana membawa Valerie tinggal bersama, itu sama saja dengan menutup aksesnya dan Valerie untuk berhubungan. Semua orang akan mengenal Valerie sebagai adik tirinya. Sementara, ia tidak akan pernah sudi memanggil Valerie dengan sebutan 'Adik'.
Paham dengan emosi Endra yang mungkin akan meledak, Ello menarik Endra menjauh dari Diandra.
“Kita coba telepon dia, yuk,” bisik lelaki bermata sipit itu sembari mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Ia menghubungi ponsel Valerie, tapi sayangnya nomor itu sudah tak aktif lagi.
“Aneh! Dia nggak pernah telat. Ehm apa dia kesulitan dapat angkot, ya?” Juno mencoba berspekulasi.
Tubuh Budi tersentak. Secepat kilat ia menatap Juno.
“Valerie selalu naik angkot?” tanyanya dengan nada sedih.
“Ya, Pa,” jawab Juno.
Budi merasa seperti dipukul dengan palu godam. Hatinya sedih akan rasa bersalah dan penyesalan terdalam. Akibat ulahnya, sang putri harus hidup menderita seperti ini. Ia telah benar-benar gagal menjadi seorang ayah yang harusnya bisa melindungi dan memberikan kebahagiaan penuh pada putrinya. Bukan malah melukai putrinya dengan keegoisan tanpa ampun.
Endra bisa melihat rona kesedihan di wajah Budi. Ia bisa menebak jika sang papa tiri merasa menyesal telah menelantarkan putri kandungnya. Cukup lega baginya melihat pria tua itu yang telah tersadar akan kesalahan besar yang pernah dilakukan pada Valerie.
Jam sepuluh tepat, semua orang diminta untuk masuk ke aula sekolah karena acara perpisahan akan segera dimulai. Endra duduk bersama Tiga sekawan. Pandangannya selalu tertuju pada pintu masuk. Berharap Valerie akan muncul. Namun, sampai acara dimulai dan berakhir, batang hidung Valerie tidak juga tampak. Pikiran buruk mulai memenuhi benaknya.
“Aku mau ke rumah Valerie." Endra berujar sesaat setelah keluar dari aula.
“Kita ikut,” sahut Garin yang diangguki Juno dan Ello.
“Kalian mau ke mana?” Diandra menahan putra dan teman-temannya.
“Rumah Valerie.” Endra menyahut tanpa menoleh sedikit pun ke arah mamanya. Kakinya tetap bergerak menuju ke luar sekolah untuk mencari taksi.


“Papa ikut!” seru Budi.
Langkah Endra terhenti. Sebenarnya ia ingin menolak Budi dan Diandra untuk tak ikut serta menemui Valerie. Ia mencemaskan emosi gadis itu yang mungkin bisa kembali muncul melihat Budi dan Diandra di rumahnya.
Namun sekarang, rasa cemas Endra tak seberapa dengan rasa takutnya. Ia takut jika Valerie akan menghindarinya atau bahkan menghilang. Dengan setengah hati, ia mengangguk setuju karena dengan menaiki mobil Budi, maka dirinya akan lebih cepat tiba di rumah Valerie tanpa membuang waktu untuk mencari taksi.
Endra duduk di samping sopir mamanya dengan perasaan cemas. Setiap detik berjalan, jantungnya semakin berdebar kalut. Semoga pikiran buruknya tidak terjadi. Semoga saja ia bisa melihat Valerie lagi.
“Jadi, ini rumahnya." Budi menitikkan air mata. Rasa bersalah kembali menghantam hatinya.
Diandra tak kalah sedihnya melihat rumah kecil yang sangat sederhana. Jadi selama ini, Arumi dan Valerie menghabiskan hidupnya di sana. “Kita telah melakukan kesalahan besar pada Valerie dan Mbak Arumi, Pa.”
Endra hanya diam, meski sebenarnya ia ingin melontarkan makian pada kedua orang tuanya. Mengapa hidup mereka bisa sedrama itu? Meraih bahagia dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain. Benar-benar egois!
Lelaki Mananta turun dari mobil diikuti Budi dan Diandra. Mobil Ello juga sudah memasuki halaman rumah Valerie. Endra menapaki teras, melangkah mendekati pintu dan mengetuknya. Lama ia melakukannya, tapi tak ada sahutan. Tiga Sekawan mulai memanggil nama Valerie, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Tangannya mengeluarkan ponsel, mencoba melakukan panggilan, tapi nomor Valerie tetap tidak aktif. Perasaan buruk mulai menyerang. Ke mana Valerie? Apa dia akan meninggalkannya? Itu tidak boleh terjadi karena dia sudah berjanji akan bersamanya.
“Mbak Valerie nggak ada, Mas. Dia sudah pergi tadi pagi.” Suara seseorang membuat tubuh Endra menegang.
Secepat kilat, ia menoleh. “Pergi ke mana, Bu?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Dia nggak bilang mau ke mana, tadi waktu pamit cuma nitip barang dan surat buat yang namanya Endra,” jawab Ibu yang tinggal tepat di samping kiri rumah Valerie.
“Saya Endra, Bu.”
“Oh, jadi Mas ini yang namanya Endra. Mari silakan ambil barangnya di rumah saya.” Ibu itu tersenyum, kemudian masuk ke rumahnya.
Dengan langkah yang mulai memberat, Endra memasuki rumah Ibu itu. Wanita berjilbab merah hati menunjuk kotak besar bersandar di dinding ruang tamunya, lalu menyerahkan amplop putih pada Endra.
Juno dan Garin membawa keluar kotak besar berbungkus kertas warna cokelat. Setelah mengucapkan terima kasih, Endra berjalan mengikuti dua sahabatnya kembali ke halaman rumah Valerie. Ia merasa bingung sekaligus sedih. Bingung karena Valerie pergi meninggalkan hadiah untuknya. Sedih karena gadis istimewanya telah pergi meninggalkannya tanpa pamit.
Tangan Endra membuka bungkus kotak besar itu. Ia terpana melihat lukisan wajahnya di kanvas besar. Tak menyangka Valerie melukis wajahnya seindah itu.
“Bagus banget lukisan wajah kamu, Ndra,” sorak Ello ikut mengagumi hasil karya Valerie.
Budi tersenyum bangga. “Ternyata putriku masih suka melukis,” ucapnya dengan tatapan berkaca-kaca kala melihat lukisan wajah Endra.
“Ini mungkin hadiah kelulusan dari Valerie buat kamu, Ndra.” Garin menepuk pundak Endra dengan penuh semangat.
Namun, Endra masih bingung dengan semuanya. Otaknya mendadak tumpul untuk memahami kejadian yang tak pernah diduganya ini. Ia teringat surat yang sedari tadi sudah ada di dalam genggam. Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Jantungnya berdebar saat mulai membaca isi surat.

Dear Endra,
Aku senang akhirnya kamu sudah sembuh dan kembali ke Jakarta. Kamu pasti bingung dengan lukisan wajah kamu yang aku buat. Sebenarnya lukisan itu adalah hadiah ulang tahunmu, tapi waktu itu kamu sedang ada di Singapura. Jadi, aku baru bisa memberikannya sekarang. Selamat ya, buat kelulusanmu, dan aku berdoa semoga kamu bisa meraih cita-citamu sebagai dokter spesialis jantung.
Maafkan aku, Ndra. Aku tidak bisa menepati janji untuk jadi kekasihmu lagi. Aku tahu pasti kamu marah dan kecewa padaku. Tapi aku pikir, tidak akan ada jalan buat kita untuk jadi kekasih, karena pada kenyataannya, kamu adalah kakak tiriku. Aku sudah berusaha untuk menjaga hati untukmu, tapi sia-sia. Karena aku terus teringat tentang masa lalu ibu, ayah, dan mamamu. Aku cinta kamu, Ndra. Kamu adalah cinta pertamaku. Tapi, kamu harus tahu, kita tidak akan pernah bersatu. Aku minta maaf Endra, karena telah membuatmu sedih setelah membaca surat ini. Aku juga berterima kasih karena telah mencintaiku, menjagaku, melindungiku selama ini.
Terima kasih telah menjadi matahariku saat aku kehilangan cahaya hidupku. Terima kasih telah menjadi pangeran yang mulia untukku. Terima kasih telah menjadi malaikat penjagaku. Terima kasih telah menjadi kekasih terbaikku. Aku mencintaimu karena kamu Tarendra, karena kamu pangeranku. Selamat tinggal, Tarendra ....
Semoga kita bisa bertemu di kehidupan yang lain, kehidupan di mana hanya ada Tarendra dan Valerie. Kehidupan di mana tidak ada kakak dan adik tiri.
(Valerie)

Endra meremas surat itu dan melemparnya ke tanah. Ia terduduk lesu melihat lukisan wajahnya yang dilukis Valerie. Jantungnya seperti diremas. Hatinya perih. Itu semua karena Valerie.
“Kamu kenapa, Ndra?” tanya Juno saat melihat Endra mulai menangis. Ello mengambil surat itu dan membacanya bersama Garin.
“Dia pergi, No. Valerie pergi ninggalin aku, No,” ucap Endra serak. Diandra mendekat dan hendak memeluk, tapi segera ditepisnya.
“Ini semua karena kalian.” Endra berucap tajam sambil berdiri, lalu mendekat ke arah Diandra dan Budi. “Ini semua karena kalian. Valerie ninggalin aku karena kalian!” bentak Endra.
Diandra tersentak dan kembali menangis. “Endra ....”
Lagi-lagi Endra menepis tangan Diandra. “Jangan sentuh aku!” bentaknya dengan wajah memerah.
“Belum cukup kalian melukai Ibu Arumi. Sekarang, kalian melukaiku dan Valerie. Bagaimana bisa selama ini kalian hidup bahagia? Kalian lihat rumah ini! Ibu dan Valerie tinggal bertahun-tahun di rumah ini. Dan sekarang, kalian udah misahin aku dan Valerie!” bentak Endra hingga urat-urat di lehernya keluar. Napasnya memburu. Tatapan matanya tajam dan memerah, gabungan dari emosi dan kesakitan.
“Ndra, Jangan emosi! Kita ada di kampung orang." Juno mencoba meredam emosi Endra. Beberapa tetangga Valerie keluar rumah mendengar teriakan dan bentakan Endra.
“Aku nggak peduli. Mereka memang pantas buat dimaki,” sembur Endra hingga membuat Budi menangis dan Diandra yang sudah terisak.
“Tapi, jangan teriak kayak orang berengsek!” Ello menarik lengan Endra, lalu dengan cepat ditepisnya.
“Lepasin aku, El! Aku memang berengsek, tapi mereka berdua lebih berengsek!”
“Ndra, jangan gila. Ayo pergi!” seru Garin. Sementara, Juno dan Ello menarik tubuh Endra pergi menjauhi Diandra dan Budi yang mematung dan menangis di tempat.
Endra yang sudah dikuasi emosi tentu saja berhasil melepaskan diri dari pegangan Tiga Sekawan. Ia kembali merangsek maju mendekati Budi dan Diandra.
“Aku nggak akan pernah maafin kalian. Nggak akan pernah!” Lagi-lagi, Endra berteriak. Tangannya mengepal berusaha memukul Budi yang berada selangkah di depannya. Namun, Tiga Sekawan dengan sigap menarik kembali tangan dan tubuh Endra menjauh.
Butuh kekuatan ekstra bagi Tiga Sekawan untuk membawa pergi Endra yang kalap seperti sedang kerasukan. Emosi sudah benar-benar menguasai Endra, hingga ia tak peduli bahwa aksinya telah menjadi tontonan banyak orang. Urat malunya sudah tak bekerja. Yang ada di pikirannya hanya Valerie, Valerie, dan Valerie. Untuk saat ini, cinta memang sudah mengalahkan logika dan akal sehatnya.
Keringat Tiga Sekawan sudah membasahi kemeja mereka. Tenaga mereka terkuras habis akibat menarik Endra yang terus berontak hingga keluar gang. Menghadapi Endra sekarang seperti sedang menghadapi beruang yang mengamuk. Baru kali ini, Tiga Sekawan melihat Endra yang begitu emosi sekaligus rapuh. Ekspresi dingin dan ketenangan yang selama ini membingkai apik wajah tampannya seolah meleleh seiring kemarahan yang meledak bagai bom atom.
Endra berhasil melepas pegangan Tiga Sekawan saat keluar dari gang. Dilihatnya taksi yang hendak melintas. Ia segera memanggil taksi itu untuk berhenti.
“Kamu mau ke mana?” tanya Juno.
“Bukan urusan kamu,” sahut Endra tajam. Saat ia hendak membuka pintu taksi, tangannya ditepis oleh Juno.
“Jadi, urusan aku kalo ini ada hubungannya sama Valerie!” bentak Juno ingin menyadarkan Endra dari tingkah gegabah. Endra sudah pernah terluka parah dalam keadaan kalut, sehingga ia tak akan membiarkan sahabatnya itu mengulang kebodohan yang sama.
Endra menoleh menatap tajam Juno. “Sejak kapan kamu posesif sama Valerie?”
“Hei, udah ... udah, kenapa kalian malah berantem?” Ello berusaha melerai Endra dan Juno.
Juno mengangkat telunjuknya tepat di depan wajah Endra. “Kamu itu harus sadar! Nggak hanya kamu yang sakit hati Valerie pergi, tapi kita juga ikut sakit!!!”
Sebuah tinju dilayangkan Endra tepat di pipi Juno. Juno yang tak terima membalasnya, hingga melukai pelipis Endra. Garin menarik Endra mundur, sedangkan Ello segera menjauhkan Juno dari Endra.
“Berhenti, Ndra! Kamu udah bikin keributan di sini!” sentak Garin saat menarik badan Endra menjauh dari Juno.
Bukannya mereda, emosi Endra kian naik. Ia melepaskan diri, memukul wajah Garin. Ia membuka pintu taksi, tapi Ello mencoba menghalangi. Tak ingin kehilangan waktunya, Endra berhasil mendorong Ello hingga tersungkur. Dengan gerakan cepat, ia memasuki taksi dan meminta sopir yang masih shock dengan perkelahiannya, untuk segera menjalankan roda empat berlogo burung biru.
Endra mengaku dirinya memang berengsek. Namun, ia tidak bisa diam saja saat Valerie meninggalkannya. Ia minta diantar ke stasiun untuk bisa membawanya ke Bandung. Ia berniat mencari dan berusaha menemukan Valerie, lalu membawanya pergi menjauh dari siapa pun. Karena dia Valerie-nya, Peri Valentine-nya.

***

Udara dingin Bandung menyambut Endra saat keluar dari stasiun. Langit mulai gelap dengan matahari yang tergelincir di ufuk barat. Senja terlukis indah di cakrawala. Seharusnya pemandangan ini bisa dinikmatinya bersama orang terkasih. Ia mulai mengkhayal. Betapa indah hidupnya jika bisa menikmati langit sore bersama Valerie setiap hari.
Endra mengembuskan napas berat. Emosinya sudah menghilang berganti rasa sesak luar biasa dalam hati. Pertanyaan besar muncul, mengapa Valerie meninggalkannya?
Lelaki itu menaiki taksi, meminta sang sopir mengantarnya ke hotel. Ia berencana memulai pencarian besok. Karena tidak mungkin ia mencari Valerie saat hari sudah malam. Terlebih ia merasakan rasa lelah yang tak tertahankan.
Pagi sekali dengan melewatkan sarapannya, Endra mulai berangkat menuju kampus yang memberi beasiswa untuk Valerie. Harapannya sedikit pupus saat pihak kampus pemberi beasiswa mengatakan tak ada klaim beasiswa atas nama Valerie. Mencoba mencari peruntungan, ia mulai pergi ke kampus pilihan kedua, tapi hasilnya juga nihil. Ia mencoba ke kampus berikutnya dan tidak ada penerima beasiswa atas nama Valerie Wijaya. Lalu, ke mana sekarang ia bisa menemukan gadisnya?
Pencarian tanpa hasil membuat Endra memutuskan pulang ke Jakarta. Sesampainya di stasiun Jakarta, ia meminta taksi mengantarkannya ke paviliun. Namun, saat taksi itu hendak memasuki halaman, ia meminta sopir untuk putar balik. Ia enggan bertemu dengan Diandra dan Budi yang sepertinya sedang berada dalam paviliun dilihat dari mobil pabrikan Jerman terparkir manis di halaman. Ia meminta sopir taksi menuju alamat rumah lain, yakni rumah Juno.
Endra tidak melihat mobil Juno di halaman. Lagi-lagi, ia meminta sopir taksi membawanya ke suatu tempat. Kali ini, ia pergi ke rumah Garin. Embusan napas lega keluar dari hidung mancungnya ketika melihat mobil Tiga Sekawan berjajar di halaman rumah Garin.
Selesai membayar ongkos taksi, Endra turun dari taksi, lalu berjalan menuju teras rumah. Liliana—mama Garin—yang menyambut kedatangannya. Setelah mencium tangan dan pipi Liliana, ia menaiki tangga menuju kamar Garin. Suara lelaki berdarah Tiongkok menyahut dari dalam saat dirinya mengetuk pintu kamar. Dengan berat, ia bergerak membuka pintu dan mendapati Tiga Sekawan duduk mengobrol di sofa dalam kamar Garin.
“Ndra, sini masuk!” ajak Garin saat melihat Endra berdiri di tengah pintu.
Endra menutup pintu dan masuk ke kamar menghampiri mereka. “Aku minta maaf soal kejadian kemarin. Aku udah jadi orang berengsek dengan memaki dan memukul kalian.”
Garin tersenyum, lalu bangkit memeluk Endra. “Never mind, anggap aja kenang-kenangan sebelum aku pergi ke Amerika.
Pelukan itu terurai. Endra pun berjalan ke arah Juno. “Maaf udah mukul kamu.”
Juno tersenyum, kemudian memeluk Endra. “Aku juga minta maaf. Apa itu sakit?” Telunjuknya mengarah pada luka di pelipis Endra setelah pelukan terlepas.
Endra menggeleng sembari tersenyum. Ia beralih menuju Ello. “Sorry, El. Aku nggak bisa menahan emosi sampai bentak kamu,” ucapnya sembari memeluk dan menepuk punggung Ello.
It's okay. Aku harap kamu nggak emosi kayak kemarin saat udah jadi dokter nanti,” balas Ello saat melepaskan pelukannya. Endra tersenyum sedikit malu. Sementara, Juno dan Garin sudah terkekeh mendengar ucapannya.
Tiga Sekawan kembali duduk di tempat semula. Sementara, Endra mengempaskan tubuhnya yang lelah di samping kiri Juno.
“Kamu beneran dari Bandung?” tanya Juno yang dibalas Endra dengan anggukan.
“Gimana? Udah ketemu Valerie?”
Kali ini, Endra hanya menggeleng sebagai respon pertanyaan dari Ello. “Tadi, aku udah ke kampus yang ngasih beasiswa ke Valerie, mereka bilang Valerie membatalkan beasiswanya. Aku mencari ke kampus pilihan kedua, Valerie juga nggak ngeklaim beasiswanya. Aku coba pergi ke seluruh kampus terkenal di Bandung, hasilnya nihil. Nama Valerie nggak ada di daftar beasiswa. Kayaknya dia sengaja nggak pergi ke Bandung, dan milih pergi ke kota lain.”
“Padahal kemarin lusa, kita masih jalan bareng. Dia juga tampak wajar dan bersikap biasa,” ucap Juno.
“Aku jadi menyesal nggak jemput Valerie kemarin. Kalo saja aku maksa untuk jemput, mungkin kita masih ketemu Valerie.” Garin menyahut, sesaat setelah meminum softdrink di depannya.
“Dia emang udah berniat buat pergi, Rin. Dia sengaja pergi untuk menjauh dariku.” Endra menyugar rambutnya ke belakang.
“Malam sebelum perpisahan sekolah, Valerie nyium kening kita, Ndra. Dia bilang itu ungkapan sayang dia ke kita karena udah jadi temannya. Aku nggak nyangka kalo itu adalah ciuman perpisahan.”
Ucapan Ello menerbitkan senyum getir di bibir Endra. Ia teringat ciumannya dengan Valerie di ranjang rumah sakit sebelum dirinya berangkat ke Singapura.
“Malam sebelum berangkat, Valerie nemenin aku di rumah sakit. Waktu itu, kita make out habis-habisan. Aku pikir itu awal baik buat hubungan kami. Tapi, ternyata itu semua cuma ciuman perpisahan. Kalo saja aku tahu semua akan berakhir kayak gini, aku nggak bakalan mau pergi ke Singapore,” terang Endra dengan kembali meneteskan air mata. Juno yang duduk di sebelahnya, menepuk pundaknya. Berusaha memberi ia ketenangan.
“Valerie, cewek satu-satunya yang udah menarik perhatianku. Berkat dia aku bisa tahu gimana rasanya dicintai dengan tulus. Aku nggak pernah merasa bahagia seperti saat bersamanya. Dia satu-satunya cewek yang buat aku nyaman. Dia mau dekat denganku tanpa memandang siapa aku. Tapi sekarang, dia justru pergi. Aku harus gimana? Bahkan aku udah janji pada Ibu buat jaga Valerie. Gelang ini tanda janjiku sama Ibu.” Endra mengangkat tangan kirinya dan menunjukkannya pada Tiga Sekawan.
“Jadi, itu dari Ibu?!” Ello menyahut dengan tak yakin. Selama ini, Endra memang tidak pernah bercerita. Setiap mereka berkomentar tentang gelang itu, sahabat tampannya itu hanya tersenyum.
Kepala Endra mengangguk. “Waktu itu, aku sengaja pergi tanpa sepengetahuan kalian juga Valerie. Aku datang menemui Ibu dan bilang kalo aku sayang sama putrinya. Ibu tersenyum dan kasih restu. Ibu cerita semua hal tentang Valerie. Lalu, beliau nyuruh aku jaga dia.”
“Ibu masuk ke kamar, lalu kasih gelang ini. Bahkan Ibu sendiri yang makein. Ini gelang kesayangan kakek Valerie. Seolah sebuah pertanda, Ibu bilang telah merasa tenang karena ada aku yang bisa jaga dia. Dan selang beberapa waktu, Ibu meninggal.”
Endra mengingat kembali memori di saat Arumi memeluknya erat. Pelukan tulus seorang Ibu yang tak pernah didapatkannya. Untuk itulah, diam-diam dirinya sering berkunjung ke rumah Valerie. Ia senang bisa bersama Arumi. Wanita berhati lembut yang tulus mencintai siapa saja yang dianggap anak.
“Aku udah jatuh sejatuhnya pada Valerie. Sampai aku pingin terus ngelindungi dia dari apa pun. Tapi sekarang, gimana bisa aku ngelakuin itu kalo aku nggak tahu dia ada di mana? Apa dia tidur nyenyak? Apa dia udah makan? Aku nggak tahu. Itu yang bikin frustrasi,” jelas Endra sambil menyandarkan kepalanya yang serasa ingin meledak.
“Sabar, Ndra, nggak hanya kamu yang sedih. Kita juga ikut sedih,” sambung Garin.
“Dia udah jadi cewek kesayangan kita. Aku nggak akan ngelupain dia. Aku cuma bisa berharap di mana pun dia berada, dia baik-baik aja dan bahagia di sana.” Juno sudah menitikkan air mata. Ia teringat sahabat cantiknya yang sudah mengajarkan banyak hal padanya.
Ello juga mulai berkaca-kaca. “Aku sayang banget sama dia.”
“Cuma Valerie yang bisa bikin kita berempat nangis kayak gini. Dan ini sama sekali nggak cool.” Garin menghapus air matanya.
Sedetik kemudian, mereka terkekeh. Segala rasa bercampur padu. Senang bisa mengenal Valerie sekaligus sedih karena harus kehilangan gadis itu.
“Aku harap suatu saat nanti, Tuhan akan mempertemukanku dengan Valerie lagi,” tukas Endra saat berhenti tertawa.
“Kalo kesempatan itu datang, kamu mau apa, Ndra?" Juno menatap lekat lelaki berdarah Jepang di sampingnya.
“Aku nggak akan biarin dia lepas. Nggak akan lagi. Itu janjiku sekarang.”

Tbc

Pati, 11 Oktober 2019

Biodata:

Penulis kelahiran Malang yang memiliki hobi membaca. Bercita-cita ingin menerbitkan novel suatu saat nanti.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 14 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.