#Kamis_Cerpen - Kembang Desa - Aiu Ratna - Sastra Indonesia Org



"Kamu mau ngelamar aku? Modal kamu apa??" Aku berkacak pinggang di depan Mas Faizal, lelaki yang hari ini datang melamarku. Ya ... Aku tahu, dia memang tampan. Tapi tampan saja tak cukup, bukan?
"Aku memang nggak kaya, Nok. Tapi aku berjanji akan membahagiakanmu sekuat tenaga. Karena aku sayang kamu." Mas Faizal berlutut di depanku.
Tch. Aku lupa menghitung, dia entah lelaki yang ke berapa yang melakukan itu. Aku tidak heran lagi. Karena aku merasa pantas diperlakukan seperti itu.
"Maaf ya, Mas Faizal. Bawa pulang kembali sayangmu. Aku hanya butuh pria sempurna dalam segala hal. Sempurna wajah, sempurna materi juga." Aku menyunggingkan senyum kecut.
Mas Faizal terdiam. Memang aku sudah lama mengenalnya. Dia cuma buruh pabrik kerupuk di desa kami. Pasti gajinya kecil. Bagiku, aku lebih pantas mendapatkan pria mapan dan kaya daripada harus menikah dengan dia.
Aku cantik. Namaku Dewi Cantika. Di desa, aku lebih dikenal dengan sebutan Denok, panggilan untuk gadis cantik dan menarik sepertiku. Mereka menyebutku kembang desa. Karena memang menurutku, akulah yang paling cantik di antara gadis-gadis desa yang lain. Jadi, tentu aku layak menjadi istri pejabat atau orang kaya.
"Ya sudah, Nok. Aku pamit dulu. Assalamu'alaikum ..." Mas Faizal akhirnya pamit pergi. Aku tak menatapnya atau menjawab salamnya. Memperhatikan kuku-kuku cantikku lebih penting dari sekedar menanggapi lamaran pria miskin seperti dia. Tch.
***
"Nduk, ada yang datang dari kota. Katanya mau ngelamar kamu." Ibuku menemuiku di kamar ketika aku tengah asyik menyisir rambut indahku yang panjang.
"Siapa, Bu? Bawa mobil, nggak?" tanyaku tanpa menoleh.
"Tidak, Nduk. Naik motor. Namanya Harjito, katanya teman sekolahmu dulu."
Aku mencoba mengingat-ingat. Harjito?? Iya, dulu dia salah satu pria yang mengejarku waktu masih SMA. Tapi aku tak menanggapinya, karena dia cuma anak ibu kantin.
"Suruh pulang aja, Bu. Aku nggak minat jadi istrinya." Aku masih asyik memoles bedak ke wajahku. Malas aku menemui si Harjito yang miskin itu.
"Jangan gitu, Nduk ... Usiamu sudah kepala tiga. Kapan kamu mau berubah?? Kemarin kamu dilamar anak pak Lurah juga ndak mau. Kamu mau cari yang gimana lagi toh, Nduk?? Ibu ini sudah tua. Adik-adikmu sudah menikah semua. Tinggal kamu yang belum. Mau sampai kapan kamu seperti ini, Nduk??"
Ah ... Aku paling benci melihat Ibu menangis. Tapi memang aku tak berminat jadi istri Harjito. Aku mendambakan pria tampan kaya raya yang datang melamarku. Anak pak Lurah memang kaya, tapi wajahnya buruk. Tidak menarik sama sekali.
"Sudahlah, Bu ... Lagian meskipun usiaku sudah tiga puluh lebih, aku masih cantik. Masih kelihatan belia, seperti berusia dua puluh tahunan. Aku cuma belum menemukan yang sempurna untukku."
"Nduk, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sadar, Nduk ..." Ibu masih menasehatiku. Aku hanya diam tak menjawab. Sebenarnya aku sudah muak, karena sudah ratusan kali Ibu mengucapkannya.
"Terserah kamu, Nduk. Suatu saat kamu pasti menyesal ..."
Ibupun berlalu meninggalkanku dalam kamar. Aku kini tengah mewarnai bibirku dengan gincu. Ini hadiah dari salah satu pria-pria yang mengejarku. Aku tak tahu siapa. Memang sering aku mendapat kiriman hadiah, tapi aku tak pernah melihat siapa pengirimnya. Bagiku itu tak penting, yang penting isinya. Kalau cuma barang murahan, pasti aku langsung melemparnya ke tempat sampah.
***
Hari berganti, bulan berjalan, tahun-tahun berlalu. Pria sempurna yang kuidam-idamkan tak kunjung datang. Malah kini tak ada lagi pria yang datang melamarku.
Kemarin aku menghadiri hajatan di rumah Mas Faizal, anak gadisnya sudah menikah di usia delapan belas tahun. Suaminya hanya pegawai restoran biasa, tapi kulihat putri Mas Faizal begitu bahagia dan mencintai suaminya. Nampak senyum sumringah ketika mereka bersanding di pelaminan.
Kini adik-adikku sudah beranak-cucu. Sedangkan aku masih sendiri, dan semakin kesepian sejak Ibu berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Sekarang, aku baru sadar. Hidup sendiri itu tidak enak. Andai saja dulu aku tidak menolak salah satu dari mereka yang melamarku, mungkin aku tak kesepian seperti sekarang.
Ketika ada kesempatan berjabatan dengan pengantin, aku mencuri sejumput bunga melati yang menggantung di sanggul jelita putri Mas Faizal. Berharap suatu hari aku juga bisa merasakan indahnya pelaminan.
"Hey, Denok!! Kamu habis nyolong kembang, ya? Hahahaha ..."
Aku mendengar suara tawa seseorang, sepertinya aku mengenalnya. Seketika aku langsung menoleh.

"Mas Warsito?"
Aku menatap lekat-lekat lelaki berambut putih berdiri tak jauh dariku. Teringat ketika dulu, dengan kesombongan kuludahi wajahnya ketika dia memintaku jadi istrinya.

Dia berjalan ke arahku, hingga kami berhadapan.
"Masih sendiri, Nok?"

Aku bingung bercampur malu. Aku hanya terdiam. Tak berani menatap wajah Mas Warsito.
"Kamu masih mencari yang sempurna? Ingat, Nok, tak ada yang sempurna di dunia ini. Semakin kamu mencarinya, semakin kamu tidak mendapatkan apa-apa."
Mas Warsito masih seperti dulu, suaranya lembut dan berwibawa. Terbesit penyesalan di hatiku. Kenapa dulu aku menolak pria sebaik Mas Warsito? Dia tak cuma baik, wajahnya rupawan, bahkan masih terlihat sampai sekarang meskipun sudah ditambah keriput di sekitar mata dan bibirnya.

"Aku sudah sadar, Mas. Tapi sepertinya sudah terlambat. Sekarang aku bukan kembang desa lagi, tapi perawan tua. Bahkan sudah bau tanah."
Aku tersenyum getir. Menyesali masa mudaku yang sia-sia hanya demi mencari kesempurnaan. Sekarang aku hanya seorang nenek tua yang hidup sendirian.

"Baguslah. Sekarang perbanyak amal ibadah saja. Orang-orang tua seperti kita ini sudah semakin dekat dengan kematian."
Mas Warsitopun berlalu meninggalkanku.

Hmmhh ...
Benar sekali kata-kata Mas Warsito. Baiknya aku berpasrah diri kepada Yang Maha Segalanya saja. Mungkin ini hukuman atas kesombonganku ketika masih muda.

***
Setelah sekian tahun berlalu, aku masih tetap sendiri. Bukan lagi perawan tua sebutanku, tapi berganti jadi Nenek Tua. Tinggal menunggu giliran menghadap Yang Maha Kuasa.
Aku duduk di taman sendirian. Di sekelilingku berlalu lalang orang-orang dari segala usia. Kulihat wajah mereka begitu bahagia. Ada pasangan muda yang bermain dengan anaknya yang masih balita, mereka tertawa lepas seolah tanpa beban. Sungguh seperti keluarga bahagia yang dulu pernah kuimpikan bersama pria idaman yang sempurna.
Di sudut lain, nampak pasangan lansia sepertiku tertawa dengan gigi ompongnya. Mereka masih terlihat mesra, saling menyuapi es krim, sambil bercerita tentang kenangan-kenangan indah mereka. Tak berapa lama muncul anak-anak yang memeluk pasangan itu dari belakang. "Ah, itu pasti cucu mereka. Seandainya saja, aku seperti itu ..."
Tak terasa, menitiklah air mataku. Teringat kesombonganku waktu muda dulu. Selalu merasa paling cantik. Dan mencari pria sempurna yang tak pernah aku temukan. Yang kaya kuhina, yang miskin kuinjak-injak harga dirinya. Kini, aku menuai perbuatanku. Sekarang, aku benar-benar sendiri. Nenek Tua yang menyedihkan ....
Tak ada lagi yang kubanggakan seperti dulu. Wajah ayuku yang dulu bersinar putih mulus, kini dipenuhi keriput. Rambut hitam indahku yang dulu selalu panjang terurai, kini selalu tersanggul rapi dan penuh uban. Tubuh indah dan menggoda yang dulu jadi kebanggaanku, kini berganti kurus kering dan berkulit kendor. Sungguh, aku yang dulu merasa sempurna, sekarang bak dicambuk dengan cemeti panas. Tak ada yang sempurna di dunia ini, dan tak ada yang abadi. Yang muda akan tua, yang hidup akan mati juga.
Kutarik nafas panjang yang makin terasa berat. Lantas kupejamkan kedua mataku. Tiba-tiba aku merasa mengantuk. Tak berapa lama, akupun larut dalam tidur panjang, dan tak pernah terbangun lagi selamanya.
Aku, Dewi Cantika, mati dalam kesepian yang kubuat sendiri ....
***
END
====
Bojonegoro, 16 Juni 2018


Biodata :
Aiu Ratna, lahir di Bojonegoro, 25 tahun yang lalu. Seorang istri dan ibu dari dua orang anak. Hobi membaca dan bernyanyi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "#Kamis_Cerpen - Kembang Desa - Aiu Ratna - Sastra Indonesia Org"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.