Cerpen - Kebun Cengkeh Bapak oleh Jumriah Enre





Semilir angin berhembus mengibaskan helai demi helai daun kelapa di lereng bukit. Sebenarnya tak banyak pohon kelapa di daerah ini, dataran tinggi dengan hawa yang cukup dingin tak begitu cocok ditumbuhi pohon kelapa, hanya terhitung beberapa batang saja di di kebun-kebun warga yang landai, lereng-lereng antara bukit satu dan bukit lainnya.
Aku tergopoh-gopoh mengikuti langkah kaki bapak, menyusuri setapak-setapak jalan perkebunan dari bebatuan yang ditata ala kadarnya, ada yang runcing ada pula yang sedikit lebih besar sehingga permukaan jalan menjadi tak rata. Belum lagi harus menaklukkan jalan menanjak terjal yang akan kita dapati sedikit lagi.
“Kenapa bapak tak jual saja sih kebun itu?” keluhku yang sudah kelelahan, meski baru beberapa meter saja pendakian terjal yang kami lalui.
“Tuh kan, bapak juga letih!”  sindirku seraya memandang raut wajahnya yang perlahan dialiri keringat dengan hanya merespon seulas senyum kata-kataku. Kelak anak-anak bapak siapa yang akan melanjutkan perkebunan ini, anak-anak jaman sekarang gengsi jadi petani. Di negeri kita ini, petani adalah profesi rendahan dan identik dengan masyarakat miskin, yah kecuali mungkin yang terlanjur punya warisan berhektar-hektar dari kakek nenek. Meski begitu, lumrah kebun-kebun, ladang menjadi sengketa yang berujung perang saudara sepeninggal bapak ibu mereka.
Ladang dan kebun para petani yang telah terbagi bersama sanak keluarga mereka berusaha digarap seulet mungkin. Apa saja dan potensi apa saja yang mereka lihat akan ditanamnya, meski perih pemerintah bahkan seringkali acuh tuk peduli pada nasibnya, pedagang-pedagang pengepul yang seenaknya bermain harga, atau sistem pajak lahan perusahaan-perusahaan besar yang kadang tak disadari mengelabui. Yah, kita masih tetap berjuang, kalau memang Tuhan hendak beri rejeki-Nya, pasti ada jalan.
“Atau, bapak tukar dengan sawah, setidaknya beras masih lebih bagus ketimbang tanaman cengkeh yang hanya akan semakin menyuburkan produksi rokok!” tambahku terus mengomel lebih panjang sementara bapak terus saja menggerakkan langkahnya tanpa peduli omelanku.
Kebun-kebun cengkeh memang menjadi andalan para petani di sini, pohon-pohon kakao yang dulu cukup diandalkan kini hampir habis ditebang, sejak mulai terserang hama petani-petani tak mampu lagi mempertahankannya meski telah mencoba berbagai cara, masalahnya tidak hanya buah yang menjadi hitam sebelum matang tapi juga tikus-tikus pengerat seringkali menggagalkan pertumbuhan buahnya. Yang banyak tersisa hanya pohon-pohon kopi yang ditanam menyeling di antara batang-batang pohon cengkeh.
                                                                        ***
“Indah sekali!” takjubku memandang berkeliling, sesaat setelah tiba di kebun bapak.
Terdapat dua puluh batang pohon cengkeh yang ditanam bapak di lahan tak sampai sehektar Ini.Tak seperti tahun kemarin, kali ini pohon-pohon cengkeh para petani berbuah lebat, entahlah kemarin mungkin pengaruh musim dan cuaca yang tak stabil.
Semakin mendekat, aroma serbuk-serbuk bunga cengkeh yang mulai bermekaran menyusup di balik indra penciuman. Seketika aku kembali merenungi keluhanku sepanjang perjalanan tadi,   hendak meralat opini-opini yang telah kuungkap.  Aroma cengkeh membuatku sadar, biji-biji cengkeh kering yang mengandung minyak atsiri ini tidak hanya akan menjadi bahan baku utama rokok, sejak dulu bahkan dikenal sebagai salah satu rempah aromatik, hingga semakin berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan ia dimanfaatkan sebagai obat-obatan, serta bahan parfum dan kosmetik.
“Ah, mengapa aku jadi begitu anti terhadap cengkeh hanya karena amat membenci rokok!” sesalku sembari menepuk jidat.
“Batang-batang pohon cengkeh ini sudah semakin meninggi, tentunya semakin tahun berlalu jika dirawat dengan baik ia akan semakin subur dan insya Allah berbuah lebat, bukankah ini aset nak?” perlahan bapak memberiku pengertian. “Kebun adalah kehidupan kita, jalan mencari makan, kebutuhan sandang dan papan hingga kalian semua dapat bersekolah. Bapakmu ini petani yang amat mencintai dunia tani, sawah ladang seperti perusahaan, mesti dijalankan dan dikelola, bahkan jika lahan petani luas, tanamannya subur dan berbuah lebat malah biasanya membutuhkan bantuan tenaga kerja. Hanya saja, menyebut kata karyawan jauh lebih terpandang ketimbang menyebut seorang buruh tani. Itulah mengapa anak-anak semua ingin sekolah dan bapak ibu mereka akan bekerja keras untuk pendidikan mereka setinggi mungkin”.
“Iya juga!” sahutku membenarkan ulasan bapak. Mengapa kita begitu mudah hendak jual tanah hanya karena tak lagi mampu menggarapnya atau tenaga tak lagi mampu memetik hasilnya. Kita harus tetap semangat memperjuangkan dunia tani, bukankah negeri kita negeri agraris? Sejak dulu dikenal dunia dengan tanah suburnya, tempat berbagai macam tanaman buah dan rempah bahkan datang dari negeri luar untuk dibudidaya di negeri ini oleh para penjajah.  Tetua-tetua seperti bapak memang seharusnya sudah tergantikan, tapi sayangnya hanya segelintir saja pemuda-pemudi yang punya perhatian terhadap lahan-lahan pertanian, dari sekian ribu lulusan sarjana negeri ini pertahunnya, hampir semua ingin bergantung pada kata PNS, yah hanya itu yang dianggap cukup menjamin masa depan hingga masa tua. Sedikit sekali yang punya hasrat untuk kembali ke desa menggantikan bapak-bapak mereka bertani, berinovasi dan berkreasi. Lulusan-lulusan ilmu pertanian pun inginnya bekerja di kantor dengan setelan yang rapi berpadu sepatu menggilapnya. Tak cocok sarjana-sarjana bergelut langsung dengan tanah dan lumpur, pikirnya.
Bukankah justru di tangan para sarjana yang tentunya berbekal segudang ilmu seharusnya mampu menciptakan prospek pertanian masa depan yang berjaya? Di tangan generasi-generasi yang katanya milenial, ditunjang kecanggihan teknologi dan sains, Indonesia harus maju sebagai negeri agraria terdepan. Bukan lagi yang masih impor beras, apalagi jika tahun-tahun di masa depan sawah-sawah kita terus tertimbun pondasi bangunan-bangunan perumahan dan pertokoan. Ah, tak punya sawah masih tetap bisa makan nasi bukan? Yah, bagi mereka yang berduit.  
“Hei, ikat talinya di sana!” sontak bapak membuyarkan lamunanku.
Dua batang pohon bambu yang ditebangnya sebulan lalu itu dibuat sebagai tangga, dilubangi sisi kiri dan kanan dengan aturan jarak yang rapi hingga ke puncak, patok-patok kokoh yang dipotong-potong pendek lalu bapak masukkan pada masing-masing lubang sebagai anak tangga. Setelah dililiti tali dan ditegakkan di batang pohon cengkeh bapak melemparkan masing-masing ujung tali padaku,
“Ikatkan satu tali pada pohon itu dan ujung yang lain pada pohon sana!” arahnya padaku. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini, sejak studi strata satuku selesai, aku kembali ke kampung halaman. Menengok honorer-honorer yang menumpuk di sekolah, bahkan ada yang sudah belasan tahun, hingga untuk mendaftar CPNS pun sudah terbentur persyaratan usia yang lewat 34 tahun.
Ah, aku lemas membayangkan kata “Honorer”.
Ilmu yang telah kuperoleh di bangku kuliah memang semestinya diabdikan di lapangan. Sebagai seorang sarjana pendidik mestinya yah aku mengajar di sekolah. Tapi apa daya, sekolah-sekolah sudah dipenuhi lulusan universitas negeri maupun swasta yang tidak hanya ingin berbagi ilmu tapi juga menjejal peruntungan. Aku  mundur, kupilih untuk menemani bapak berkebun, meski aku bukan jebolan fakultas pertanian tapi aku lahir dan tumbuh di lingkungan petani. Sejak kecil sepulang sekolah sering kubantu ibu membelah buah kakao yang dipetik bapak dari kebun, hingga memetik biji-biji kopi yang merah matang dan memanjat memetik bunga-bunga cengkeh dari tangkainya sudah mahir kulakukan, yah bisa dibilang aku menjadi buruh tani bapak, diupah dengan tidur dan makan di rumahnya, bahkan dipenuhi segala kebutuhan yang lain.
“Panjatlah di sini! Sudah bapak tes tangganya, insyaa Allah aman.” 
Perlahan aku menaiki satu demi satu anak tangga tak sampai ke puncak, biasanya bapak melarangku terlalu tinggi. Meski sudah bertahun-tahun menemaninya dalam pekerjaan ini, ia masih tetap membuatku manja, “Tak usah terlalu tinggi, yang bawah-bawah saja nanti bagian bapak memetik yang di puncak!”, “Jika sudah tak kuat turunlah, biar bapak yang selesaikan!”, “Jangan mencoba menjangkau ranting yang jauh, sudahlah, nanti kamu terjatuh!” Kalimat-kalimat itu sudah terekam puluhan kali dalam memoriku.
“Bagaimana dengan pendaftatran CPNS tahun ini, kamu tak ikut?” tanyanya di sela-sela istrahat sembari menyeruput kopi hitamnya.
“Entahlah pak!” Aku selalu pesimis ikutan daftar. Ribuan orang pastinya yang akan berjuang mengundi nasib di sana. Meski selalu kudengar kata ini diucap orang-orang, “Cobalah, bagaimana mungkin kamu tahu ada tidaknya rezekimu di sana jika tak pernah mencoba dan berusaha!” Tidak, sepertinya aku lebih tertarik mengikuti kata-kata sebagain orang yang lainnya lagi, “Ikuti kata hatimu, dan jajallah jalan passionmu!” Kalimat ini selalu terasa menarik di benakku.
Dulu, sejak tamat sekolah menengah atas, aku berhasrat mengikuti jejak kedua kakakku sebagai Aparatur Sipil Negara. Kedua kakak laki-lakiku seorang polisi, makanya saat terbuka pendaftaran penerimaan bintara polri kala itu, aku meminta izin ibu dan bapak untuk ikut, yah postur tubuh yang tinggi salah satu modal yang bisa kuandalkan. Sayangnya, bapak dan ibu sepakat melarangku, dalam image mereka kala itu, menjadi polwan adalah pekerjaan yang berat. Mereka memang selalu menilaiku lemah. Yah, anak bontot putri mereka ini memang selalu dicemaskannya.
Aku ingat kala itu, seorang teman laki-laki dari desa sebelah ikut mendaftar dan alhamduillah ia lulus, tapi kelulusan tidak hanya dilalui dengan rentetan tes uji, modal uang dari puluhan hingga ratusan juta sudah menjadi rahasia umum. Untungnya bapak dari sang teman punya beberapa petak lahan yang akhirnya harus dijual separuh untuk mendanainya.
Yah begitulah sekelumit permainan kotor segelintir penghuni negeri ini. Bahkan yang sudah terdaftar sebagai calon pegawai negeri sipil pun untuk naik menjadi Pegawai Negeri Sipil seringkali masih harus mengorek saku dalam-dalam. Meski baliho-baliho besar yang terpampang di jalan-jalan kota besar terang sekali menuliskan “Pandaftaran tidak dipungut biaya” tapi itu tak ada gunanya, sekarang jamannya permainan uang, semua serba uang, uang yang bisa memenangkan meski bisa pula menjatuhkan. Orang-orang desa yang tak tahu apa-apa, apalagi bagi hanya seorang petani tak berpendidikan yang mengimpikan masa depan cerah untuk anak-anaknya rela berjuang meski harus melepaskan kebun-kebun pencaharian mereka demi anak-anak hidup lebih baik dengan profesi-profesi yang akan mengangkat strata sosialnya.
“Lalu apa? Kalau begitu kamu kerja sama bapak saja, biar bapak yang gaji!” ungkapnya sembari tertawa kecil.
Yah, apa salahnya menjadi petani. Orang-orang hebat bagiku bukan sekadar yang punya profesi terpandang atau berseragam rapi dan berkantong tebal. Tapi hebat itu jika ia mampu mendengar kata hati, memperjuangkan passion dan memegang kuat kejujuran, hebat itu jika ia mampu melihat potensi dan mencipta karya di sana, hebat itu jika ia mampu tegap tegun dalam memperjuangkan mimpi dan harapannya, dan hebat itu jika kedua orangtuanya, negaranya, dan agamanya mengaku bangga padanya.
“Aku punya cita-cita kok pak, punya impian dan harapan, dan pasti akan kuperjuangkan!” balasku setelah mengusaikan lamunan.
Kembali kupanjati anak-anak tangga, memetiki tangkai demi tangkai bunga cengkeh lalu memasukkannya dalam kantongan kain yang kusampirkan pada tengkuk.
Kelak, kita harus bangga menjadi petani, dari tangan-tangan generasi muda masa depan, tanah subur sebagai citra negeri Indonesia akan membawa kejayaan.
                                                                        ***

Tentang penulis


Perempuan kelahiran 5 Juni 1992 ini lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan. Ia menyelesaikan  studi Strata 1 di Universitas Negeri Makassar 4 tahun lalu. Sejak studinya selesai ia kembali ke kampung halaman, kesibukannya hanya berlatih menulis dan memperbanyak ilmu dengan membaca serta membantu pekerjaan-pekerjaan ibu di rumah, seringkali pula ia sibuk membantu ayah jika musim panen tanaman-tanaman kebunnya tiba. Tak seperti pemuda-pemudi yang lain setelah selesai S1 biasanya sudah kerja di kantor atau perusahaan, mengabdi sebagai tenaga honorer di sekolah, rumah sakit maupun kantor-kantor pemerintahan atau melanjutkan studi ke strata yang lebih tinggi. Baginya rezeki akan selalu ada jalannya selama kita tak melupakan ibadah kepada Sang Pemberi rezeki itu sendiri, bukannya tak ada rencana masa depan atau tak niat membagi dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperolehnya di universitas, ia justru seorang yang punya ribuan mimpi, satu impian besarnya menerbitkan sebuah buku telah ia wujudkan tahun lalu, sebuah buku religi berjudul “Ukhti Hijrah Yuk” dan beberapa bulan kemarin ia bersama pemuda-pemudi di desanya menggalakkan pendirian pondok baca untuk anak-anak di lingkungan desanya. Ia masih punya impian-impian besar yang perlahan-lahan diwujudkannya.
Jumriah Enre dapat dihubungi untuk kritik dan saran maupun sharing-sharing tentang konten tulisannya melalui,
Email               : enre7jhe@gmail.com
whatsApp        :085850622002
Telphone         :085396171158
Alamat            :jln. Balakia D 137, Kec. Sinjai Barat, Kab. Sinjai Sulawesi Selatan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen - Kebun Cengkeh Bapak oleh Jumriah Enre"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.