Pantun Melayu: Sastra Lisan yang Menjaga Makna, Budaya, dan Identitas Bangsa


Sastra lisan tradisional Indonesia terus hidup dan diwariskan lintas generasi, salah satunya adalah pantun Melayu. Sebagai bentuk sastra daerah yang berkembang kuat di wilayah Sumatera, Riau, Kalimantan Barat, hingga Malaysia dan Brunei, pantun menjadi simbol kebijaksanaan, keindahan bahasa, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.


Pantun bukan sekadar rangkaian rima berima silang (a-b-a-b), namun juga menyimpan pesan moral, kritik sosial, hingga cinta kasih. Dalam masyarakat Melayu, pantun digunakan dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, musyawarah adat, hingga hiburan rakyat. Fungsinya bukan hanya estetis, melainkan juga edukatif dan komunikatif.


Menurut peneliti sastra daerah, pantun memiliki peran penting sebagai media pembelajaran karakter. Setiap bait menyiratkan makna mendalam tentang kehidupan, tata krama, hingga rasa hormat pada alam dan sesama. Misalnya:

 

Pulau Pandan jauh ke tengah,
Gunung Daik bercabang tiga.
Hancur badan dikandung tanah,
Budi baik dikenang juga.


"Pantun mengajarkan kita bahwa yang paling diingat dari seseorang bukan rupa atau kekayaan, tetapi budinya," ujar Lestari Arman, dosen Sastra Nusantara di Universitas Riau.


Kekhawatiran muncul ketika generasi muda semakin jarang mengenal dan menggunakan pantun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, berbagai komunitas dan sekolah mulai kembali menghidupkan tradisi ini lewat lomba pantun digital, program literasi daerah, dan pelatihan menulis pantun.


SastraIndonesia.org mendorong seluruh lapisan masyarakat dan instansi pendidikan untuk turut melestarikan pantun Melayu, sebagai bagian dari warisan tak ternilai milik bangsa. Karena pantun bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga jembatan nilai untuk masa depan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pantun Melayu: Sastra Lisan yang Menjaga Makna, Budaya, dan Identitas Bangsa"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.