Puisi tradisional Indonesia seperti pantun, gurindam, dan mantra kembali mendapatkan tempat di hati masyarakat, terutama generasi muda yang mulai menyadari pentingnya melestarikan warisan budaya bangsa. Kegiatan membaca puisi tradisional ini mulai marak digelar di berbagai sekolah, komunitas seni, hingga media sosial sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan sastra lokal.
Pantun dengan keindahan rima dan makna, gurindam dengan nilai-nilai moralnya, serta mantra yang sarat unsur spiritual dan tradisi, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Nusantara.
“Puisi tradisional bukan sekadar rangkaian kata, tapi cermin kearifan lokal yang mendalam,” ujar Diah Ayu, pegiat sastra dari Komunitas Sastra Jawi Wetan di Surabaya.
Menurutnya, membaca puisi tradisional bukan hanya melatih kepekaan berbahasa, tetapi juga memperkuat nilai-nilai budaya yang mulai luntur di tengah gempuran modernitas.
Pemerintah daerah dan berbagai lembaga kebudayaan kini turut mendorong kegiatan literasi budaya ini lewat lomba baca puisi, pelatihan sastra daerah, serta integrasi dalam kurikulum pendidikan.
“Anak-anak zaman sekarang justru antusias. Mereka ingin tahu makna di balik setiap bait pantun atau gurindam,” tambah Diah.
Dengan semangat ini, diharapkan tradisi sastra lisan yang dulu akrab dalam kehidupan masyarakat dapat terus hidup dan berkembang di tengah era digital, menjembatani masa lalu dan masa depan dalam satu irama kata.
0 Response to "Menghidupkan Kembali Warisan Sastra: Membaca Puisi Tradisional di Era Modern"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.