Puisi Chairil Anwar Mejeng di Stasiun Bawah Tanah Seoul: Sebuah Jembatan Sastra Antarbangsa


Ada pemandangan yang akan membuat dada para pecinta sastra Indonesia menghangat jika mereka melangkah ke dalam Stasiun Yeouido atau Gangnam di Seoul, Korea Selatan. Bukan sekadar papan petunjuk atau iklan biasa—di dinding kaca peron stasiun itu terpampang sebuah karya abadi: Aku, puisi ikonik dari sang pelopor puisi modern Indonesia, Chairil Anwar.

Keberadaan puisi ini bukan tanpa alasan. Ini merupakan bagian dari Program Puisi Multinasional, sebuah inisiatif yang telah digagas oleh Pemerintah Kota Seoul sejak 2008. Lewat kolaborasi dengan berbagai kedutaan besar negara sahabat, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Seoul, program ini menampilkan puisi-puisi dari berbagai penjuru dunia dalam dua bahasa: bahasa asal dan terjemahan Korea.

Dalam unggahan resmi akun Instagram @indonesiainseoul, Kuasa Usaha Ad-interim KBRI Seoul, Zelda Wulan Kartika, menyampaikan bahwa pemilihan puisi Aku bukan tanpa makna. “Puisi ini mengandung semangat besar seorang Chairil Anwar. Ia adalah deklarasi kuat tentang jati diri, perlawanan, dan ketahanan,” ungkap Zelda. Baginya, Aku bukan sekadar karya sastra, tetapi juga manifestasi tekad hidup secara otentik, bahkan dalam bayang-bayang peluru dan luka.

Tak heran, puisi ini dianggap pantas menjadi representasi suara Indonesia di ruang publik Korea Selatan.

Berikut adalah isi lengkap puisi Aku karya Chairil Anwar:


Aku
Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang’kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.


Puisi ini dapat dinikmati di dua lokasi ikonik: Stasiun Yeouido Jalur 5 Peron 8-2 dan 8-3, serta Stasiun Gangnam Jalur 2 Peron 3-3 dan 3-4. Tak hanya menjadi pengingat akan kekuatan sastra, tetapi juga bukti bahwa kata-kata mampu menyeberangi lautan dan menembus batas budaya.

Indonesia sendiri menjadi salah satu dari 27 negara yang berpartisipasi dalam program ini. Negara lain yang turut serta antara lain Inggris, Vietnam, hingga Mongolia.

Chairil Anwar, bagi banyak dari kita, bukan hanya penyair. Ia adalah simbol perlawanan, suara kemerdekaan, dan api dari generasi yang menolak tunduk. Kini, puisinya berdiri di antara lalu lalang warga Korea—mewakili wajah Indonesia yang penuh daya, bahasa yang berani, dan jiwa yang merdeka.

Sebuah bentuk diplomasi budaya yang lembut namun berdampak—dan pastinya, membanggakan.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Puisi Chairil Anwar Mejeng di Stasiun Bawah Tanah Seoul: Sebuah Jembatan Sastra Antarbangsa"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.