Setiap hari saya selalu membuat konten di Sosial Media. Definisi bercinta dengan rupiah, berpisah di tanggal tua.Disamping pembuat konten, saya juga menjadi saksi bagaimana sebuah pendapat atau komentar bisa berakhir di ruang pengadilan.Scroll Tiktok dan Instagram 5 jam per hari selalu ada saja berita yg baru setiap harinya. Seperti biasa, fenomenanya hampir
sama semua. Rata-rata seperti Influencer yang dihujat, atau terkena kasus dan lain sebagainya. Dan yang bagian seperti menghakimi yaitu Netizen, tanpa hati nurani berkata sesadis mungkin.
Influencer sendiri adalah orang yang sering menjadi sorotan publik dimanapun dan kapanpun kamu berada.Satu ucapan yang dianggap menyinggung, satu unggahan yang dibaca tidak sesuai konteks, atau bahkan satu momen spontan yang tertangkap kamera bisa berubah menjadi bola salju kritik. Ketika sudah bergulir, kritik itu bukan hanya soal komentar pedas, tetapi bisa menjelma menjadi gerakan kolektif yang menolak keberadaan kita. Hal itu terjadi baik di dunia maya ataupun di kehidupan nyata.Hal tersebut bisa kita istilahkan “Cancel Culture”.
Gambaran Cancel Culture sendiri seperti jika ada satu restaurant yang sangat terkenal di kota kalian. Kemudian pada suatu saat, ada seorang yang datang ke Restoran tersebut dan tidak terima dengan harga per menu yang sudah ditetapkan.Kebetulan orang tersebut adalah seorang Selebgram atau Influencer yang terkenal dan membuat video dan memberi rating jelek tentang Restaurant tersebut, kemudian diupload di Sosial Media.Alhasil, Restaurant tersebut akhirnya sepi pelanggan dan bahkan tidak ada pengunjung sama sekali.
Permasalahannya, budaya cancel jarang berhenti pada kritik semata. Ia kerap berubah menjadi arena hiburan yang mirip koloseum. Ada yang menanti momen ketika ‘tersangka’ dijadikan sasaran massal, ada yang rajin menyebar potongan video tanpa latar konteks, dan tak sedikit pula yang ikut menghujat hanya karena takut dianggap salah kubu jika tidak ikut menyerang—sebuah ekosistem sosial yang mungkin membuat Darwin enggan repot-repot mengkajinya.Masalahnya, cancel culture ini jarang berhenti di level kritik. Ia sering berubah jadi ajang hiburan mirip pertunjukan gladiator. Ada yang sabar menunggu ‘korban’ digebuk massa, ada yang rajin menyebar potongan video tanpa konteks biar makin panas, dan ada pula yang ikut menghujat hanya karena takut di cancel kalau tidak ikut rombongan—sebuah rantai kejadian absurd yang mungkin bikin Darwin angkat tangan dan memilih untuk pensiun dini.
Di titik ini, kita sering lupa bahwa ada sosok pemilik beberapa akun bodong di Sosmed.Mereka juga sama memiliki kegiatan setiap hari seperti kita.Ketika Cancel Culture tersebut sedang booming, maka yang terlihat hanyalah sebuah ucapan yang sangat tidak enak didengar dan dibaca di kolom komentar.Tidak semua orang bisa melewati masa-masa ini. Sudah menjadi resiko bahwa Influencer adalah pekerjaan yang rentan sekali dengan netizen.Namun dibalik itu semua, ada pihak yang memilih untuk melihat berita saja dan bersikap netral, karena dia berfikir jika berkomentar di sebuah postingan seorang Influencer dan takutnya dia kena hujat juga dari Netizen.
Apakah itu berarti cancel culture sepenuhnya keliru? Tidak sesederhana itu. Ada saat-saat ketika kritik memang diperlukan, dan teguran dari publik bisa menjadi pengingat penting. Namun persoalannya muncul ketika kritik berubah wujud menjadi hiburan massal, ketika niat mengedukasi bergeser menjadi ajang mengeksekusi. Dan lucunya, tanpa kita sadari, kita semua pernah ikut berdiri di tribun penonton itu.Pada akhirnya, cancel culture justru lebih memantulkan siapa kita, bukan siapa yang sedang dijadikan target. Ia menunjukkan betapa cepatnya jari kita gatal untuk bereaksi, betapa mudahnya kita mengambil peran sebagai hakim tanpa prosedur, dan betapa kejamnya dunia digital menuntut manusia tampil tanpa cacat.
Sebelum buru-buru menulis komentar sinis, mungkin ada baiknya kita berhenti sebentar dan merenung: “Saya sedang memberi kritik… atau sekadar mencari hiburan dari keruwetan hidup orang lain?”
Kalau hati kecil kita memilih jawaban yang kedua, mungkin saatnya menaruh ponsel, tarik napas, dan istirahat sejenak. Tidak semua drama harus kita tonton sampai kredit akhir.

0 Response to "Cancel Culture : Ketika Netizen menjadi Hakim,Jaksa, dan Algojo sekaligus"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.