Cerita Mini Karya Cira


Rasaku Tak Seindah Lukisanmu

Oleh: Cira

Seorang pria yang tengah duduk memainkan beragam warna cat di atas kanvas membuat mataku tak berkedip. Tak henti-hentinya kupandangi setiap gerakan yang dia lakukan di sebuah gazebo bambu—tak jauh dari aliran sungai. Pria yang selama beberapa hari ini datang sendiri dengan beberapa perlengkapan lukisnya, berhasil mencuri perhatian dan rasaku. Rasa dingin dan beku semenjak Alean mencampakkan hidupku demi memilih wanita lain. Entahlah. Setiap kali melihatnya detak jantungku menggema. Senyum ini pun terukir seketika. Ada rasa damai dan nyaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Terus kunikmati sepasang mata elang di bawah naungan alis lebat nan hitam. Wajah dan gestur tubuhnya menawan hatiku sehingga tak mampu berpaling. Aku berharap dia mau menoleh dan menghampiriku. Meskipun hanya sekejap, ingin sekali mengenalnya.

Detik berganti detik, menit berganti menit hingga tanpa sadar sudah hampir satu jam aku duduk diam dari kejauhan. Es Capucino Coffe yang berada di genggamanku pun habis tak tersisa. Hanya meninggalkan tetesan embun yang menyebar ke sisi gelas.

Ya, Allah. Kenapa Engkau mempertemukan aku dengan dia di sini?  Apakah kehadirannya akan menjawab semua doaku? Sudikah Engkau mengenalkan dan mendekatkan dia padaku? Aku menyukainya.

Setelah pikiran dan pandangan ini beralih arah tak tentu, aku kembali menatapnya. Pria itu masih sibuk menggoreskan warna demi warna menjadi sebuah objek yang indah. Sesekali matanya beralih pada sebuah pohon besar yang menjorok di atas sungai dengan sebagian ranting menjuntai. Beberapa ekor burung tampak riang beterbangan di atasnya. Gambaran itulah yang dia torehkan di atas canvas. Selanjutnya, dia menciptakan aliran serta percikan air sungai yang terlihat tenang dan menyegarkan. Ditambah dengan dedaunan serta hamparan sawah sebagai pelengkapnya. Sungguh semakin membuatku terpesona.

Ah, sepertinya aku terlalu menghayati keindahan pagi ini. Terlebih lagi, saat kudapati senyum elegan tersungging di bibirnya. Ya Allah, terasa meleleh hatiku. Duh, pria tampan di ujung sana, siapakah gerangan dirimu? Kenapa membuat selalu rindu?

"Hayo! Nglamunin apa kamu?" Suara lantang seorang perempuan mengagetkanku. Terlebih lagi dibarengi tepukan keras di atas pundak ini. Membuat jantung terasa ingin melompat saja rasanya.

"Eh, apaan sih? Ngagetin orang aja!" gerutuku sembari mengusap pundak yang terasa panas. "Sakit tahu."

"Lagian, ngapain juga senyum-senyum sendiri? Awas ntar kesambet, lho!" Gelegar tawa terdengar nyaring dari si pemilik hidung pesek bernama Nara itu.

Aku hanya tersenyum, kemudian mengarahkan pandangan ke sesosok pria yang belum puas kupandangi sampai saat ini.

"Arum... Arumm. Jangan tempatkan hatimu pada dia!" Nara berkata sok bijak sembari menepuk pundakku kembali. Namun, kali ini lebih pelan sehingga tidak menimbulkan rasa sakit.

"Kenapa?" Aku menoleh ke arahnya.

"Dia itu sudah ada yang memiliki." Dadaku terasa sesak seketika mendengar ucapannya. "Bulan depan mereka akan melangsungkan pernikahan," lanjut Nara.

"Kamu mengenalnya?" tanyaku dalam keterkejutan.

"Iya. Dia sahabat dari sepupuku. Dia pernah beberapa kali datang ke rumah. Jadi sedikit banyak aku tahu tentangnya." Penjelasan Nara membuatku terdiam.

Sekejap, benda tajam terasa menusuk ke bagian terdalam jantung ini. Tiba-tiba hatiku terasa terhantam bebatuan berat, retak dan hancur berkeping-keping. Dada ini pun terasa panas, sesak, dan perih. Semuanya berkumpul menjadi satu. Menggerus rasa cinta menjadi duka.

Mataku yang semula terasa terang, menjadi redup. Kulihat mendung hitam menutupi pupil. Mata ini terasa memanas dan pedih. Menumbuhkan embun yang bergelayut. Semakin lama semakin membentuk genangan. Memenuhi rongga mata. Aku mencoba menahan sekuat hati, tetapi tetesan demi tetesan beranjak pergi mengaliri pipi ini. Segera kuusap sesuatu yang basah di wajah dengan hijab pasmina yang kukenakan. Namun, genangan itu terus mengalirkan arusnya tanpa bisa kucegah. Kurapatkan bibir. Menggigitnya pelan. Berharap jikarasa ini akan segera hilang.

"Arum. Kenapa kamu terlihat begitu sedih?" Nara mengusap pundakku lembut. "Kamu jatuh cinta padanya?"

"Aku tak tahu, Ra. Yang jelas hatiku terasa begitu sakit." Aku mengambil sebuah tisu dari dalam tas. Menempelkan di hidung sembari menekan ujungnya. Sesuatu yang terasa basah pun keluar. "Aku tidak pernah merasakan hal sesakit ini sebelumnya," lanjutku sesenggukan.

"Ya Allah, Arummi. Aku tahu kamu itu wanita yang sulit jatuh cinta. Dan Rendra sendiri pun juga pria yang baik. Tetapi, mungkin dia itu bukan jodoh kamu." Nara memelukku dengan erat. Mencoba menenangkan sebuah hati yang tidak bisa kumengerti.

Aku tidak tahu kenapa hati ini terpaut padanya. Dia pria yang belum lama kukenal, tetapi sudah menumbuhkan rasa yang telah lama hilang menjadi gundukkan bintang yang kemudian hancur sebelum kupegang. Ada apa dengan cinta? Kenapa Rasaku tak seindah lukisanmu?

Biodata Penulis


Cira, terlahir dari kota berbudaya. Memilih menjadi seorang penulis untuk menuangkan suara, cerita, dan kebangkitan semangat diri. Memiliki harapan besar akan kelestarian budaya dan tanah air untuk bisa tetap terjaga.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerita Mini Karya Cira"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.