Sketsa Wajah - M Riano Hafid Hamzah


Sketsa Wajah
M Riano Hafid Hamzah


Kau sedang menggambar dengan pensilmu di atas selembar kertas putih. Sekilas akan
telihat garis-garis samar yang melengkung atau lurus lalu membentuk oval, hingga kemudian
ketahuan bahwa itu adalah sketsa wajah belum jadi. Rambut ombakmu yang sepanjang bahu,
tertiup angin sore yang membawa kelembapan udara masuk ke dalam ruang kelas menulis ini.
Kau sengaja membuka jendela karena pendingin ruangannya memang sedang rusak. Kau juga
tidak sedang tersenyum, tertawa, ataupun bicara. Dan, mataku tak mau menjauh dari mejamu
sejak kau datang dan duduk di situ.
Pada akhirnya, kutulis saja sajak: yang melukiskan lekuk senyummu yang tanggung dan
simetris menggantung di ujung bibirmu yang tipis, lalu mengurai rambut ombak sepanjang
bahu yang kau biarkan menutupi pangkal telinga dan kerah baju, dan kemudian menampilkan
seraut wajahmu yang menggoda mata siapapun untuk menyelami kebekuanya yang sedingin
kumparan salju. Lelaki macam apakah kamu; yang melumpuhkan tangan, membisukan pensil,
dan menyasarkan tulisanku ini dalam kebuntuan.
“Rana, Sebutkan judul buku yang telah kamu baca!?”
“Filosofi Kopi, Negeri Kabut, Saksi Mata, Jazz, Parfum dan Insiden, dan Mawar Hitam.”
Jawabku nyeletuk sekenanya, lalu mengambil pensil yang jatuh di lantai.
“Buku mana yang paling berkesan bagimu?”
“Mawar Hitam dan Filosofi Kopi.”
“Mawar Hitam atau Filosofi Kopi?”
“Saya menyukai keduanya.”
Aku menoleh ke arah mejamu. Dan, kulihat senyum simpul dari bibirmu mengembang saat
pertanyaan-pertanyaan itu memburuku. Kemudian, kau tenggelam lagi dalam seketsa wajah
yang sedang kau kerjakan.
“Pilih salah satu!”
“Baiklah, Mawar Hitam.”
“Apa alasanya?”
“Ada sentuhan kedalaman. Teknik dan bahasanya berkelas.”
Selanjutnya, kami diminta untuk memilih satu judul cerita dari buku yang telah kami baca,
dan membuat tulisan yang bertema sama, “perhatikan tahapan-tahapan yang ada pada tulisan
model tersebut, mulai pembukaan hingga penutup.”
Tulisan-tulisan ini nanti akan dikumpulkan, dinilai dan dibahas dikelas. Selain itu, kami juga
diminta untuk mengubah ending cerita yang diambil dari dongeng-dongeng rakyat yang
masyhur.
Kelas menullis ini telah usai. Kau belum juga bangkit dari kursi dan beranjak pulang.
Jari-jarimu bergerak lincah mengarahkan pensil di selembar kertas itu. Bayangan awan
semakin hitam di luar. Kau mengintip langit dari jendela, lalu memasukkan pensil dan seketsa
wajah tersebut ke dalam ranselmu. Aduh! Kau menangkap mataku. Aku harus bagaimana?
“Sedang menunggu siapa?” tanyamu.
“Eh, tidak, tidak sedang menunggu siapapun.” Tukasku, dan meraih buku yang tercecer
di atas meja.
“Selera sastramu bagus.”
“O, ya? Wah, aku baru tahu. Kalau kamu suka baca apa?”
“Ada satu dari judul yang kamu sebutkan tadi.”
“Judul yang mana? Saksi Mata?”
“Bukan. Jazz, Parfum dan Insiden.”
“Oh. Jazz memang karya yang seimbang dan jujur.”
“Aku suka cara Seno memandang sesuatu. Juga caranya menulis.”
Kita berjalan saling bersisihan. Aku terbatuk-batuk beberapa kali. Dadaku berdenyut cepat
saat berdekatan denganmu. Nafasku terasa berat. Entah mengapa sore ini tidak seperti biasa.
Walaupun langit mendung, para pengendara atau pejalan kaki tidak tampak murung.
Semuanya tersenyum menyambut bakalnya hujan pertama yang akan turun. Bahkan, angin
yang berhembus, seolah mengajak daun dan bunga-bunga di taman untuk turut memeriahkanya.
“Maaf, Apakah kamu tadi menggambar seketsa wajah? Milik siapa?”
“Ah, iya. Milik seseorang.”
Kita berpisah di ujung kelokan. Aku belum tahu siapa namamu. Kita terlalu asyik
berbincang-bincang hingga lupa untuk berkenalan.  Di seberang jalan, kau membalikkan
badan dan memberiku senyuman yang sulit lepas dari ingatan. Aku melambaikan tangan
dan membalas senyumannya. Kemudian menatap layar handphoneku yang menyala.
“Rana, kau dimana?”
“Aku di dekat taman di depan penjual soto lamongan.”
“Baiklah, Tunggu di sana!”
Di dalam mobil, Siska tak berhenti mengomel. Dia marah karena aku tidak ada di tempat
saat ia tiba menjemputku. Untungnya, Siska tidak curiga bahwa aku hampir saja lupa dengan
peresmian kafe barunya.
“Bagaimana dengan pesanan bunganya, Rana?”
“Aku sudah memesanya kemarin.”
“Jam berapa bunganya akan diantar?”
“Sebelum jam 7, bunganya akan tiba.”
Aku duduk di dalam kafe. Memandang kaca tembus pandang yang berkilat karena tertimpa
cahaya lampu hias. Di depan pintu, Siska menerima pesanan bunganya dari pemuda berambut
gelombang sepanjang bahu yang datang bersama gadis muda. Persis sepertimu lekuk senyum
yang timbul dari bibirnya yang tipis. Seperti diriku, orang-orang di dalam kafe ini juga tersihir
untuk menyelami wajahnya yang sedingin dan seputih salju itu. Apakah kalian orang yang
sama? Siapa gadis muda di sebelahnya? Sayangnya, aku gagal menjawab semua keraguan ini.
Pandanganku terhalang oleh para tamu yang berdatangan menyerbu Siska di depan pintu masuk.
“Di mana dia?”
“Siapa maksudmu?”
“Pemuda bersama gadis muda yang mengantarkan bunga barusan.”
“Kau tidak tertarik dengan pengantar bunga itu, kan?” ujarnya meledekku.
“Apaan sih! Apa kau cemburu?”
“Awas, ya!”
Aku mulai jenuh dengan kehidupanku selama ini. Juga hubunganku dengan Siska.
Dari semula, hubungan kami memang salah. Menyalahi adat-budaya dan kebiasaan manusia
di sini. Tapi, Siapa yang bisa menyangkal cinta? Naluri tersembunyi ini terus meronta di alam
bawah sadarku hingga akhirnya aku tak sanggup menahanya lagi. Singkat cerita, kami pun
semakin dekat. Lalu, terjalinlah  hubungan  terlarang ini.
Aku sedang memandangi hujan pertama yang turun menjilati tanah kering di luar sana.
“Betapa enak menjadi tanah yang diguyur hujan di luar sana setelah melewati hari-hari yang
berduka.”
Setiap tamu telah pulang ke rumah masing- masing.
Siska tak menanggapiku. Dia sibuk merapikan meja dan kursi yang berantakan. Aku pun kian
hanyut dalam malam yang hujan dan cerita yang sedang kuketik. Setelah semuanya beres,
siska mengendap- ngendap agar tidak mengganggu, lalu menyelimuti tubuhku yang meringkuk
di kursi dengan kepala rebah di atas meja.
“Rana, Tolong besok pesankan edelweiss dari toko bunga kemarin!” bisiknya pelan di telingaku.
“Toko bunga itu tidak menyediakan eldeweiss.” Kataku malas dengan mata separuh terpejam.
“Coba kau tanyakan lagi! kita akan membayarnya 4 kali lipat jika pemiliknya dapat
mengantarnya kemari.”
“Astaga! Kenapa kita harus mengeluarkan uang sebanyak itu?” tanyaku sambil mengangkat
kepala dan menatap matanya.
“Rana, edelweiss adalah bunga lambang keabadian cinta.” Ujarnya lalu mendaratkan telapak
tangan pada kedua pipiku.
“Kenapa tidak kau sendiri saja yang memetikannya untukku?” cecarku seraya mengalihkan
kedua telapak tanganya.
“Rana, tolong mengertilah, aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Kau tau sendiri. Kali ini saja
biarkan kupinjam dulu tangan orang lain untuk memetiknya.”
“Baiklah, terserah padamu! besok pagi akan kupesankan.”
Tiga bulan berlalu. Kelas menulis akan segera berakhir. Kau belum juga hadir. Atau mungkin
sebetulnya kau tidak pernah terdaftar  di kelas menulis ini. Mungkinkah  kau hanya tersasar
ke sini sore itu. Siapa kau sebenarnya? Siapa yang sedang kau gambar sore itu?
Kucoba melacak jejakmu. Dan, ya Tuhan, ternyata kalian orang yang sama. Kaulah pemilik
toko bunga itu. Orang yang kutelpon pagi-pagi untuk memesan edelweiss. Dan, pemuda,
pengantar bunga yang datang bersama gadis muda, di malam peresmian kafe baru Siska.
Sungguh, andai waktu itu aku menyadarimu sejak awal, aku takkan berdiri seharu ini meratapi
sketsa wajah yang terpampang di tokomu. Maaf, pagi itu aku sedikit memaksa supaya kau mau
mendaki gunung dan memetikkan edelweiss. Tetapi, kenapa kaupenuhi permintaan itu?”
Kau sendiri yang bilang, “tak boleh meninggalkan sesuatu selain jejak kaki. Tak boleh
membawa sesuatu, kecuali kenangan. Itulah alasan saya tidak menyediakannya di sini.
Kita sudah tidak boleh memetiknya karena edelweiss semakin terancam punah. Namun,
demi nona Rana saya akan melakukannya.”
Apakah itu benar-benar demi diriku, hingga kau nekat pergi mengambilnya? dan, kenapa kau
tidak jujur saja bahwa itu adalah kau saat tahu penelpon dan pemesan bunga itu adalah aku.
Apakah kau mau memberi semacam kejutan? berarti kau sudah berhasil. Ya, memang ini
adalah kejutan, serta kenyataan pahit yang harus kutelan.
“Maaf, Apakah nama kakak ‘Rana’?” tanya seorang gadis muda yang air matanya masih
belum kering.
“Oh, ya. Saya Rana. Dari mana adik tahu nama kakak?”
“Sketsa wajah ini yang bicara pada saya. Mas Arya ingin sekali memberikanya kepada
kak Rana. Tetapi, dia tidak pernah sempat melaksanakan niatnya tersebut.”
“Dik, tolong berikan kakak serangkum mawar hitam!”
Arya. Itukah namamu. Aku baru saja bertemu adikmu yang kau tinggalkan demi
mengabadikan cinta pada hati wanita jalang ini. Maaf, aku terlambat mengunjungimu.
Tapi, aku berjanji akan selalu datang ke rumah abadimu, dan membawakan serangkum
mawar hitam untuk mengenangmu.
Terimakasih untuk sketsa wajahnya, yang kau lukis sore itu di kelas menulis.

Biodata Penulis
Nama : M. Riano Hafid Hamzah
Alamat : Rt. 004, Rw. 001, Dsn.  Ngudirejo, Ds. Ngudirejo, Kec. Diwek, Kab.
` Jombang Jawa Timur.
No. Hp. : 0812 3461 8091
Email : mokhamad_hamzah@yahoo.co.id
Facebook : M Riano Hafid Hamza






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sketsa Wajah - M Riano Hafid Hamzah"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.