Dari Bunda - Yoon

Dari Bunda
Luka dan derita jiwa yang disimpannya hingga penghujung usia.
Oleh: Yoon


Putih. Putih dan putih. Warna itu mendominasi sebuah lorong yang dilalui seorang perempuan berjas
putih yang sedang berjalan dengan langkah mantap nan elegan. Kedua kakinya dengan sigap
membawa tubuh eloknya menuju sebuah ruangan di ujung. Jemari indahnya cekatan dalam membuka
kenop pintu.
Matanya mengedar ke seluruh ruangan. Ia menarik napas dalam sebelum memasuki ruangan itu.
Nomor tiga dari kiri, ia langsung menghampiri mejanya.
“Hah,” desahnya sambil memasrahkan punggungnya pada kursi kesayangannya.
Ia memijit pelipisnya pelan. Hari ini sudah terlalu banyak hal yang ia alami. Operasi berderet
mengantre membuatnya enggan walau hanya sekadar menyantap sepiring nasi.
Setelah lama di posisi itu, matanya terbuka. Buru-buru ditariknya laci sebelah kiri. Tangannya meraih
sebuah kertas usang yang terlipat rapi. Lantas ia hadap kertas itu dan ia buka perlahan.
Surat. Ah tidak pantas dikatakan surat jika hanya berisi beberapa baris kalimat. Katakanlah, sebuah
catatan. Catatan dari seseorang yang telah tiada di sisinya.
“Putriku, Jelita. Bunda senang kamu bisa sejauh ini. Maaf bunda pernah menentangmu dulu. Beberapa
alasan tak bisa bunda ungkapkan. Tapi kamu akan tahu jika kamu mencari tahu. Rak F Nomor 79.
Akan kamu ketahui alasan bunda berperilaku seperti ini.”
Ia berhenti sejenak. Memandang heran pada kertas di hadapannya. Alisnya terangkat satu.
“Udah? Gitu aja? Setelah pergi tanpa pesan, sekarang ngasih teka-teki gini? Dikira syuting film dora?”
desisnya sebal. Ia letakkan kertas itu sembarang di meja. Helaan napasnya terdengar berat.
Ia kembali diam. Bukan diam dengan pikiran yang berserakan. Tapi ia sedang bernostalgia dengan
kejadian delapan tahun lalu.
***
“Bunda, hari ini terakhir pendaftaran fakultas hukum. Bunda tanda tangan ya, aku mau langsung
ngumpul formulirnya hari ini.”
Yang Jelita panggil bunda hanya diam. Matanya kosong. Ada aura kemarahan yang dirasakan Jelita.
“Bunda, waktunya semakin siang. Aku gak—“
“Jangan.”
Alis Jelita bertaut. Ia memandang bundanya aneh. Seumur hidup belum pernah sang bunda menolak
keinginannya. Seaneh apapun keinginan itu.
“Kenapa bunda?” Bunda menggeleng.
“Kamu boleh minta apapun Jelita. Tapi tolong, jangan fakultas hukum. Kamu mau ambil akuntan,
arsitek, kedokteran atau apa terserah. Tapi tolong jangan hukum.”
“Bunda, ada apa? Bunda tak pernah seperti ini sebelumnya.”
Sang ibu hanya menggeleng. Ia menatap sendu putrinya. “Maaf, Sayang.”
“Bunda tapi aku mau hukum.” Jelita masih bersikukuh.
“Tidak. Kamu tidak akan masuk ke sana. Kamu akan masuk kedokteran.”
Kedua mata Jelita membola. Apa-apaan ini? Keputusan macam apa itu?
“Bunda,” rengeknya.
“Lahir batin, hidup mati, bunda gak rela kamu masuk hukum, Jelita.” Ibunya mengucapkan
keputusan final.
Jelita memandang bundanya kecewa. Air mata itu tak bisa ia sangkal kehadirannya. Langkahnya
langsung meninggalkan sang bunda yang menatap penuh sesal pada sang putri.
*^*
Jelita memandang pintu di hadapannya dengan perasaan tak karuan. Seumurnya, ia belum pernah
melalui pintu di hadapannya. Batas keras yang ditetapkan bundanya membuat ia tak mampu
membantah. Dan  sekarang, berkat note kecil bundanya ia harus masuk ruangan itu.
Tadi sewaktu ia mengutarakan niatnya kepada sang bibi, respon positif di dapatkannya. Dan ia
memiliki praduga jika sang bibi pun tahu apa yang telah disembunyikan bundanya berpuluh tahun ini.
Maka, jemari Jelita bergegas memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tangan kirinya refleks
menutup mata saat cahaya dari dalam ruangan bertabrakan dengan netranya. Setelah beradaptasi,
ia mulai melangkahkan kakinya.
Tiada kata terucap dari bibir indahnya. Decakan kagum tak mampu ia pendam. Ruangan itu
benar-benar rapi dan elegan. Sebuah singgasana ala direktur tertata rapi di hadapannya. Alat tulis
tertata rapi. Buku-buku berjejer rapi di rak masing-masing. Tangannya tak bisa tinggal diam.
Ia menyentuh satu per satu demi terpuaskannya rasa kagum dari benaknya.
“Wah, bukan main rapinya. Pantas aku tak diizinkan menjelajahi ruang ini,” decaknya kagum.
Matanya berserobok dengan papan bertuliskan alphabet rak. Seketika ia ingat apa yang harus ia
lakukan di sana. Heels lima centinya mengetuk lantai dengan irama konstan. Matanya nyalang
mencari sebuah huruf yang ia anggap “kunci” dari segala kekangannya delapan tahun ini.
“F nomor 79,” gumamnya sembari membelai beberapa punggung buku yang berderet rapi
di hadapannya.
Jemari telunjuk kanannya berhenti saat melihat huruf F besar di depannya. Dan ia heran saat tak
mendapati petunjuk nomor satu pun di depannya.
Hidungnya mendengus keras. Lagi-lagi bundanya berteka-teki. Tidak cukupkah teka-teki akan
pendidikannya selama ini? Masih haruskah catatan yang beliau tinggalkan itu ia pecahkan?
“79. Rak ini tinggi sekali. Ck. Bagaimana bisa aku mencari nomor itu?” Ia mendesah. Terdiam
sejenak. Rak itu ia pandangi betul-betul. Tangannya memangku rahang indahnya. Ah, andai ia
secerdas Aristoteles.
Matanya beralih pada rak E. Ia memandang dua rak itu bergantian. Dan didapatinya hal yang aneh.
Lalu ia menatap rak yang lain. Lagi-lagi didapatinya hal yang sama.
“Semua rak rata-rata per baris 13 buku, lantas mengapa rak ini hanya 10 buku per baris?” Ia bergumam.
Tangannya menelusur rak F dengan hati-hati.
“Apakah 7 itu baris dan 9 itu nomor buku di baris itu?” Tangannya cekatan membelai baris nomor 7
di depannya. Ia mendapat satu buku, ditariknya pelan buku itu.
Langkahnya beringsut mundur saat sebuah benda yang ia yakini surat kabar jatuh ke lantai.
Buku yang ia raih, ia kembalikan ke tempatnya. Fokusnya sekarang hanya satu, kertas yang t
ergeletak lesu di karpet coklat itu.
Tangannya ragu meraih kertas itu. Tak urung jua ia meraihnya sebelum dibawa berdiri. Dibukanya
perlahan kertas itu. Benar-benar sebuah surat kabar. Jelita memandangnya aneh. Untuk apa bundanya
menyimpan surat kabar tahun 1990?
Matanya nyalang menelanjangi surat kabar usang itu. Tak lama ia membaca sebuah headline yang
dengan jelas terpampang di sana.
Andrew John, Pengacara Terkenal Keluarga Kenney Divonis Hukum Mati
Setelah terungkap memiliki konspirasi dengan client-nya, pengacara terkenal Andrew John mendapat
vonis hukum mati. Hal itu dikarenakan putusan saksi yang menyatakan jika sang pengacara memiliki
dendam pribadi terhadap korban. Hukum
Jelita terpekur sesaat. Ada suatu hal yang membuat batinnya tercubit tiba-tiba. Nama itu tak asing.
Tapi entah kenapa ia tak mampu menemukan jawaban. Lantas ia memilih melanjutkan acara
membacanya.
Hukuman mati akan dilaksanakan setelah sebulan vonis dinyatakan. Hal itu sesuai permintaan
Andrew sendiri yang ingin merayakan pesta ulang tahun putrinya yang pertama, Jelita John Kenney.
Sang istri—
Bruk.
Luruh sudah tubuh Jelita. Matanya mengalirkan sungai kecil yang kemudian menjadi sangat besar.
Hatinya sesak. Samar-samar ingatannya kembali pada 26 tahun lalu. Ia ingat betul seorang laki-laki
memeluknya hangat, memberi sebuah Teddy Bear raksasa dan memberinya kecupan penuh. Kecupan
yang ia rindukan setelah lamanya masa itu berlalu. Sekarang ia mengingatnya dengan jelas.
“Ayah,” isaknya pelan dengan dada yang sesak. Ia menatap perih pada sebuah bingkai foto yang
bersender dengan bahagia di meja. Sepasang orang tua dengan putri cantik mereka di pangkuan sang
ayah.
Tangis Jelita semakin kencang. Sekarang masuk akal penolakan bundanya delapan tahun lalu. Dan ia
menyesal mengetahuinya setelah sekian lama. Setelah ia membiarkan kepergian bundanya tanpa rasa
sesak sedikit pun di relung batinnya. Kini sesak itu berkumpul jadi satu. Membuatnya merasakan
serangan jantung. Dan membuatnya kesulitan bernapas tanpa adanya rasa sesal.
“Bunda,” isaknya pelan.
*Fin*


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dari Bunda - Yoon"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.