Puspa Karya Luthfi Permana

 


PUSPA

Karya: Lutfi Permana 

Harum buah jeruk menyelimuti ruangan ini. Tempat berkumpulnya para kutu buku dan orang-orang yang memiliki ambisi untuk membuka jendela dunia, yakni perpustakaan. Aku sudah lama menjadi langganan tempat ini, hingga bermacam macam buku di perpustakaan ini sudah tersentuh olehku. Aku Rian, Pria berkacamata dengan rambut disisir ke kanan. Sedengarku, ada buku jenis baru di perpustakaan, hingga saat istirahat jam pertama, aku sudah stand by di depan pintu perpustakaan ini.

Penjaga perpustakaannya pun sudah tak heran lagi denganku, karena tiada hari mereka tanpa melihatku di perpustakaan ini. Penjaga perpustakaan itu memegang kunci dan membuka pintu. Setelah ia masuk. Aku pun ikut masuk di belakang mengikuti penjaga perpustakaan itu.

"Bu, hari ini ada buku baru ya? Saya mau meminjam buku baru itu. Ada di sebelah mana, ya?" tanyaku sambil membenarkan kacamata ku yang sedikit menurun.

"Ada di rak paling kanan bagian tengah," jawab penjaga perpustakaan itu. Lalu aku menuju ke tempat yang sudah ditunjuk.

Sesampainya di rak itu, aku melihat ada banyak sekali buku baru yang masih di selimuti sampul plastik. Aku mengecek setiap judulnya dengan teliti. Hingga aku terfokus kepada buku yang berjudul Konspirasi Alam Semesta yang ditulis oleh Fiersa Besari. Dengan refleks aku mengambil buku itu, karena bukunya masih disampul plastik, aku langsung izin ke penjaga untuk meminjamnya.

Sesampainya di meja registrasi, aku letakkan buku itu beserta kartu pelajarku.  Sambil menunggu buku itu didata, aku duduk di kursi sambil mengetuk ngetuk meja registrasi. Tak lama kemudian, pandanganku terfokus kepada perempuan yang berdiri di depan pintu, Ia mengedarkan penglihatannya ke segala sudut perpustakaan, hingga ketika mata kami bertemu, dia tersenyum kepadaku sambil melambaikan tangannya. Dia menghampiriku yang sedang duduk di kursi registrasi.

"Lagi apa, Ri?" tanyanya kemudian duduk di kursi samping ku.

"Biasa, minjem buku." Perempuan itu mengangguk.

Perempuan itu adalah Puspa, perempuan dengan paras yang cantik dengan rambut yang lurus tergerai serta bibir tipis yang sangat mempesona. Aku dan Puspa tidak sekelas, namun kelas kami bersebelahan dan tentu kami saling kenal di perpustakaan ini. Dia adalah alasanku untuk selalu ke perpustakaan selain membaca buku, dan alasan ku juga kenapa aku meminjam buku milik Fiersa Besari itu. Aku ingin mengetahui apa rasa sebenarnya yang aku rasakan sekarang.

Setelah aku meminjam buku, Puspa mengajakku membaca bersama di ruang baca, yang letaknya masih di dalam perpustakaan. Aku dan dia saling berhadap hadapan. Tak jarang aku mencuri-curi pandangannya ketika ia membaca. Aku jadi salah tingkah, aku tidak bisa fokus membaca kalau ini jadinya. Wajahku memang menghadap ke halaman buku, tapi mata ku mengarah ke sosok Puspa.

Hingga beberapa menit kemudian ia menutup bukunya. Lalu, ia memperhatikanku sambil membaca judul yang aku baca.

"Hhmm, kamu suka Fiersa Besari ya? Aku juga," ujar Puspa. Aku sedikit terkejut dengan ucapan Puspa. Seketika aku makin salah tingkah dihadapannya.

"Hmm Iya, sebenarnya aku baru pertama kali membaca bukunya, tapi kalau lagunya aku sering mendengarkannya." kata ku sambil tersenyum lebar kepada Puspa. Terlihat Puspa tersenyum juga padaku. Entah kenapa senyumannya itu membuat hatiku makin tak karuan. Ingin saja aku mencubit pipinya, namun apa daya, memangnya aku siapa?

Setelah itu kami bercanda tawa bersama, mulai membicarakan guru, mbak-mbak kantin yang suka naikkin harga, dan teman-teman kelas kami. Hari ini aku sangat senang, aku harap, jarum jam jangan berputar dengan cepat. Namun, aku bukan superhero yang bisa memperlambat waktu. Bel istirahat selesai. Puspa pamit duluan kepadaku, aku hanya tersenyum. Lalu ia pergi dihadapanku, mataku tak henti hentinya menatap Puspa mengiringi kepergiannya.

Keesokan harinya, aku berniat untuk ke perpustakaan lagi, ditambah aku memberanikan diri untuk mengajak Puspa pergi ke toko buku bersama di kawasan Harapan Indah. Aku membuka pintu dengan pelan agar suara gesekan pintu tidak menganggu orang-orang didalamnya. Saat aku sudah di dalam perpustakaan, aku sudah melihat Puspa yang tengah fokus membaca di meja yang sering kami tempati. Dengan senang aku menghampirinya.

"Selamat pagi Puspa!" sapa ku lalu duduk dihadapannya. Seketika Puspa melihatku. dan lagi-lagi tersenyum manis ke arahku.

"Hmm, besok aku mau ngajak kamu ke toko buku bersama, mau gak Puspa?" Lalu Puspa kembali mengembangkan senyumannya, dan mengangguk dengan pelan.

"Iya Aku mau kok Ri, di mana?"

"Di Gramedia Harapan Indah," jawabku dengan cepat. Puspa sedikit tertawa melihat sikap ku yang sedikit salah tingkah. Kemudian ia menulis sesuatu di secarik kertas, aku sedikit mengintip penasaran apa yang sedang ditulisnya.

"Ini nomor whatsapp-ku, nanti kamu kabari aja ke nomor itu kalau kamu sudah di sana," aku mengambil kertas tersebut, memperhatikan tiap nomor yang diltulis oleh Puspa.

Kemudian aku mengangguk seraya tersenyum kepadanya.

Tak lama kemudian, Puspa berdiri dan bilang kepadaku jika ia ingin segera ke kelas, ada urusan katanya. Aku hanya mengiyakan dan untuk sekian kalinya  aku menatap kepergian dia.

Setelah urusanku dengan buku di perpustakaan selesai, aku kembali ke kelas. Namun entah kenapa diriku ingin melewati kelas Puspa, aku penasaran apa saja yang puspa lakukan ketika berada di kelas. Aku tak peduli harus mutar balik lagi karena melewati kelas ku.

Sesampainya aku berjalan didepan kelas Puspa, terlihat Puspa sedang tertawa lepas sambil duduk di atas meja. Disaat itu juga aku tersenyum. Namun tiba tiba ada sesak di dada, aku melihat sumber tertawa nya Puspa adalah seorang Pria yang sedang duduk di kursi yang posisinya lebih rendah dari Puspa. Hatiku sedikit meremuk, senyumanku memudar, dan tak sadar aku menatap tajam pria itu.

Dengan sedikit sakit hati, aku beranjak pergi dari depan kelasnya. Pertanyaan ku sekarang, siapa pria itu? Apakah ada hubungan khusus dengan Puspa? Aku menepis pikiran negatifku. Aku harus fokus untuk hari besok, ke toko buku bersama Puspa.

Esok harinya aku sudah rapih nan gagah di depan Gramedia, lalu aku memilih masuk ke dalam toko untuk mencari tempat duduk sembari menunggu Puspa. kemudian aku mengabarinya lewat whatsapp bahwa aku sudah ada di Gramedia. Namun hanya ada tanda ceklist satu di pesan ku. Aku sedikit resah, apakah Puspa lupa tentang perjanjian ini? Lagi-lagi aku menepis pikiran negatifku, aku pun berasumsi mungkin Puspa sedang dalam perjalanan.

Setengah jam, satu jam, dua jam, akuu sudah menunggu di sini. Tak jarang banyak pegawai yang memperhatikan aneh gelagatku. Aku mengecek kembali pesan yang sudah aku kirim, namun hasilnya nihil, tetap ceklist satu. Dadaku mulai sesak dan tubuhku mendingin. Pasti Puspa melupakan perjanjian aku dengannya untuk ke toko buku bersama.

    Akhirnya aku memutuskan untuk mencari buku yang ingin aku beli dengan tubuhku sendiri, dan yang pasti tanpa Puspa. Selama aku memilih buku, pikiranku tak lepas dari Puspa, setega itu ia melupakan Rian? Tidak ada niat sedikitpun untuk memberi kabar jika Puspa tidak bisa datang bersamanya?

Aku pun keluar, tanpa membeli buku, dengan langkah gontai aku keluar dari Gramedia. Aku menghirup udara dalam-dalam, memberikan ruang untuk paru-paruku menghirup udara segar, sudah terlalu sesak dadaku di dalam toko tadi. aku berjalan ke rumah ku yang tak jauh dari Gramedia, aku menyusuri trotoar dengan pandangan kosong. Kemudian aku mengadahkan penglihatanku ke langit. Langit itu mendung, sama seperti hati ini. Apakah semesta tahu suasana hati Rian? hanya semesta yang dapat memahami perasaan ini.

Air pun menetes dari langit, menghantam tubuhku dengan bertubi-tubi. Dadaku semakin sesak, dan tak sadar air mata ini menetes bercampur dengan air hujan. Dengan cepat aku berlari menuju rumahku. Tak peduli seberapa keras air hujan menghujam kepalaku, dan seberapa remuk hatiku saat ini.

Esok harinya aku memasuki kelas dengan suasana hati yang masih tak terkendali. Sekilas aku mendengar pembicaraan teman perempuan di kelasku bahwa Puspa sudah memiliki kekasih yang bernama Juna, aku menebak Juna adalah pria yang pernah aku lihat sedang bercanda dengan Puspa saat aku mengintip dikelasnya. Kembali aku mengelus ngelus dadaku, menahan rasa sesak di dalamnya.

Saat bel istirahat, aku pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kemarin aku pinjam, aku sudah tak kuat membaca buku milik Fiersa Besari ini. Karena ketika aku membaca tiap kata demi kata di buku ini, bayangan ku selalu ingat tentang Puspa. Ketika aku memasuki perpustakaan, aku mengedarkan pandanganku ke segala sudut ruangan, Tidak ada sosok yang selama ini menemaniku di sini. Akupun sadar, ternyata apa yang pernah aku harapkan sebenarnya hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hanya ada rasa di satu pihak, yakni diriku sendiri.

Untukmu Puspa, Perempuan yang aku dambakan , aku hanya berdoa, semoga Tuhan memberi anugerah yang terindah untukmu dalam segala hal apapun. Di sini aku tidak bisa melihatmu dan bersamamu lagi. Namun aku akan selalu ingat tentang mu, walau cerita kita baru sebentar, kan selalu ku tulis nama indahmu di hatiku.

' Selamat Pagi, Puspa, sampai jumpa kembali di lain waktu." 

"Namun, 'rasa' punya jalannya sendiri. Ia tak serta merta hadir untuk diutarakan. Kadang 'rasa' hanya dinikmati sendirian, dengan setumpuk harapan"

Konspirasi Alam Semesta - Fiersa Besari

 

Biografi Penulis

Lutfi Permana lahir di Jakarta, 10 April 2002 adalah seorang pelajar SMA yang sebentar lagi melanjutkan pendidikan peguruan tinggi. Memiliki cita-cita sebagai guru biologi tidak serta merta menghilangkan hobinya untuk menulis yang sudah ditekuni sejak masih SMP. Karena bagi saya, menulis adalah cara untuk menuangkan segala permasalahan hidup, terutama masalah hati.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Puspa Karya Luthfi Permana"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.