#Jumat_Cerbung - Mustika Bab 9 - Perjanjian - Indah Akhmad - Sastra Indonesia Org




Perjanjian

Oleh: Indah Akhmad


Nyi Roro Kidul berdiam diri di biliknya, duduk di depan meja rias sembari menatap kecantikan fisik. Cermin masih berkata bahwa dirinya tetaplah mengagumkan. Syukurlah tak ada kisah serupa putri salju dalam hidupnya. Akan tetapi, apa yang telah dilakukan Kusuma, mengingatkan dia pada kisah Rapunzel.
Entah mengapa dongeng manusia itu berpengaruh padanya. Putri yang diculik sebab ingin memanfaatkan kekuatannya, lalu gadis itu menentang dan kabur bersama seorang pria, dan berakhir pada terkuaknya fakta. Itu hanya kisah fiksi-fantasi meski logika berkata, ‘Mungkin kehidupan semacam itu ada.
Dia mendesah, mendongak, dan menikmati gerombolan ikan yang berenang di balik jendela. Dia suka mengamati ikan Pari. Tubuh lebar dan sayapnya yang naik turun, serta gerak lamban hewan itu seperti pertunjukan tari di keraton.
“Yang Mulia, ruang meditasi telah siap,” ucap dayang yang lantas undur diri.
Satu tarikan napas panjang dia keluarkan perlahan sebelum meninggalkan meja rias. Dari biliknya, dia berbelok ke kiri melewati tiga saka setinggi empat meter. Tiang-tiang kokoh berdiameter satu meter itu berdekatan, jarak mereka tak lebih dari dua depa. Berwarna keemasan dan berkilau kala diterpa cahaya. Tak ada ukiran layaknya pintu-pintu bangunan itu. Kesederhanaan yang pas di antara kemeriahan istana.
Sejenak, wanita itu berhenti, menatap Narendra yang sedang duduk di gazebo. Satu kaki selonjoran sementara yang lain tertekuk dan dijadikan sandaran lengannya. Setelah diamati cukup lama, rupanya lelaki itu tengah terlelap. Nyi Roro terkagum, sebab ketika tidur pun dia punya gaya sendiri tanpa merusak pesona dan karismanya.
Seulas senyum terlihat di bibir wanita penguasa laut selatan. Teringat akan janji yang telah menanti, dia berpaling dan masuk ke lorong sepanjang satu kilometer. Cahaya hanya menyinari di ujung lorong, sementara di depan, kegelapan seakan hendak menyergap dan menenggelamkannya. Nyi Roro kembali melangkah. Satu per satu ruas dinding memancarkan cahaya kala dia melintas. Pendar hijau yang tak terlalu terang dan tak jua terlalu meredup, menemaninya hingga tiba di depan pintu kayu setinggi dua meter.
Dengan kekuatan pikiran, dia menggeser pintu ke kanan. Gelap, satu-satunya ruang tanpa celah sehingga tak secercah cahaya alam yang dapat menembus tempat itu. Setelah dia masuk, pintu kembali tertutup.
Kegelapan yang menyergap tak semata-mata menelannya dalam kedamaian, tapi juga kesenangan sebab perjumpaan yang akan dia lakukan bukanlah hal biasa. Dia duduk bersila, menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Setelah menarik napas panjang, matanya terpejam.
Mantra terucap tanpa suara, hanya bibir yang sibuk meladeni kosakata yang dilafalkan. Kalimat-kalimat yang berasal dari kitab Sangsekerta itu menghadirkan cahaya yang begitu terang untuk sesaat, dan lenyap bersama dengan roh Nyi Roro yang tak lagi dalam raga.
Jiwa wanita itu mewujud di hadapan seorang pria berpakaian adat Jawa, lengkap dengan udeng batik khas Keraton Mataram. Dia menyatukan kedua tangan di depan muka, sapa santun untuk wanita yang duduk tegak di kursi emasnya.

҉ ҉ ҉



Setelah merasakan keberadaan wanita itu di sana, berdiri di antara saka dan menatapnya, Narendra membuka mata. Namun, dia tak lagi di tempat yang sama. Mencari pun percuma, sebab bukan dia yang diinginkan ada.
Mata indah itu kembali terpejam. Bukan untuk memimpikan wanita yang kini menjauhinya. Dia sedang menerka penyebab peristiwa hari ini, landasan kemarahan Nyi Roro Kidul pada Kusuma. Mustika atau pria yang memilikinya? Dan mengapa wanita itu dilarang mendekati manusia? Dia pun mulai mempertanyakan, siapa sosok Kusuma dalam kehidupan Nyi Roro Kidul? Bahkan dalam kitab Jawa, dia tidak pernah menemukan silsilah wanita cantik itu dan bagaimana dia mendapatkan posisi istimewa di kerajaan.
Apa karena kesaktiannya? Atau kecantikan mereka yang setara? pikirnya dalam hati
Bibir Narendra melengkung ke atas kala bayang Kusuma melintas dalam imaji dan mengerut kemudian ketika teringat betapa besar keinginannya menemukan manusia itu. Narendra membuka mata lebar-lebar.
“Tidak! Manusia itu harus lenyap sebelum bertemu dengan Kusuma.” Dia mencabut jam istirahatnya, lalu menghilang dari gazebo.

҉ ҉ ҉

“Kedudukan dan takhta hanya bersifat fana. Aku tidak bisa menjaga kejayaannya sebab kuasaku tak sebesar Dia. Aku akan tetap membantumu, tapi dengan satu syarat, jangan pernah lagi ada dari keturunanmu yang mengingkari perjanjianku dan leluhurmu. Jika kalian ingkar, maka bersiaplah jadi budakku. Apa kamu bersedia?”
Pria berkumis itu tampak ragu. Setelah kematian kakak tertuanya akibat ingkar, kebimbangan meraja dalam pikiran. Iya atau tidak, dia tetaplah menjadi budak. Bedanya, dia masih bisa bernapas di alam manusia dan butuh pamor yang luar biasa besar untuk menikmati hidupnya.
“Baiklah, Nyi. Saya terima,” ucap pria itu.
Nyi Roro Kidul tersenyum manis. “Bolehkah aku meminjam cincinmu?”
Pria itu mendongak, lalu mengangguk-angguk sembari melepas cincin akik dari jari manis. “Ini, Nyi. Silakan!”
Di atas bara arang dan kepulan asap beraroma kemenyan cincin permata hijau itu berpindah tangan. Nyi Roro lantas menggenggam dan membawanya dalam dekap. Kelopak matanya turun. Pandangannya menggelap untuk sesaat.
Di menit berikutnya, benda di tangan bersinar terang layaknya neon yang tergenggam. Pancarannya menembus sela-sela jemari. Hijau dan putih, gradasi warna yang indah.
Pria di hadapannya terkejut. Seumur-umur belum pernah sekali pun dia menyaksikan fenomena itu. Cincin turun-temurun yang dianggap biasa, kini menampakkan wujud aslinya. Kekuatan yang entah bagaimana cara menggunakannya. Mungkinkah hanya Nyi Roro yang bisa melakukan itu? Dia bertanya-tanya.
Sementara dia masih mengagumi, Nyi Roro Kidul berhasil mendapatkan pandangan yang diinginkan. Dia tersenyum manis. Seiring kelopak mata yang terbuka, cahaya itu pun meredup dan lenyap. Permata hijau itu berubah warna seperti sedia kala.
“Terima kasih,” ucap wanita itu sembari mengembalikan cincin kepada pemiliknya.
Tak berapa lama, Nyi Roro memudar, tergantikan cahaya hijau yang mulai menipis dan menjadi manik-manik yang lenyap dalam hitungan detik. Dia telah kembali ke tempatnya semula, di ruang gelap tempat semadi di istana.
Wanita itu melepaskan karbon monoksida perlahan sembari mengangkat kelopak mata. Irisnya berkilat. Manis senyumnya pertanda sesuatu yang menyenangkan telah tergenggam.


Biodata:

Penulis yang suka ngehalu ini menuangkan setiap imajinasinya ke dalam cerita. Salah satunya adalah mustika ini. Jumpai juga karyanya yang lain dalam akun wattpad @imajindah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "#Jumat_Cerbung - Mustika Bab 9 - Perjanjian - Indah Akhmad - Sastra Indonesia Org"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.