#Kamis_Cerpen - Cahaya untuk Anak - Wahyunisa - Sastra Indonesia Org



Sumber SayangAnak.com



Seperti apa ibu yang baik itu? Berkali-kali aku mengajukan pertanyaan itu, berkali-kali pula kurasakan sesak dalam dada. Sebagai seorang wanita yang memiliki anak, tentu membahagiakan buah hati adalah yang utama. Namun di balik keterbatasan tanpa suami, hal itu sulit kulakukan
Setiap melihat wajah Ayu, gadis kecil berusia sembilan tahun itu, selalu saja terbersit tanya, "Ibu yang baik itu seperti apa?
Setiap saat, hanya kegagalan yang kudapat. Gagal menjadi ibu, gagal menjadi orang tua hebat. Gagal untuk disebut tulang punggung. Dalam segala hal, aku gagal
Dalam kata, anakku mungkin tak banyak menuntut, tapi aku bisa melihat raut wajahnya yang sedih saat menceritakan temannya memakai tas baru. Temannya punya sepatu baru, tempat pensil baru, dan hal-hal baru yang tidak pernah ia dapatkan.



Sore itu, saat akan membuat makanan, ternyata garam tak ada. Kuingat-ingat kembali di mana dompet lusuh itu diletakkan.
Setelah berada dalam genggaman, mataku yang lelah mengamati isinya.
Ada uang dua ribu dua lembar, dan dua koin uang seribu rupiah. Cukuplah untuk membeli garam. Dengan cepat, aku berangkat ke warung milik Pak Kohar. Tanpa sepengetahuan, ternyata Ayu mengikuti di belakang.
"Garamnya satu bungkus, Pak Kohar." Seorang pria di warung itu mengiyakan pesananku.
Rambut beruban dan keriput di sekitar mata menunjukkan dirinya sudah tidak muda lagi. Ia menyodorkan benda yang kumaksud dengan senyum ramah. Aku segera mengeluarkan sejumlah uang tiga ribu.
Mata Ayu tak hentinya mengamati roti yang berjejer di rak camilan. Dengan cepat, Pak Kohar meraih satu bungkus roti dan memberikannya pada Ayu.
Aku kembali mengeluarkan satu uang koin untuk membayar roti itu. Meski kutahu Pak Kohar tidak berniat menjualnya pada Ayu, tapi ada rasa tidak enak saja kalau harus dikasihani.
"Saya gak mau dikasihani, Pak." Aku berkata, lalu pergi sambil menarik tangan Ayu.
Satu kenyataan lagi yang muncul saat aku bertanya tentang bagaimana ibu yang baik itu, bahkan camilan pun tak sanggup diberikan pada anak.
"Lain kali gak usah ikut kalau ibu ke warung, yah?" pesanku pada Ayu dalam perjalanan pulang.
Hanya anggukan sebagai balasan yang kuterima.
Meski ingin sekali rasanya membelikan apa pun pada Ayu, tapi uang tak cukup. Bekerja sebagai tukang cuci, tidak bisa menjamin hidup untuk hari esok. Sekarang, hampir setiap rumah memiliki mesin cuci. Tak banyak yang membutuhkan tenaga orang lagi.



Ketika sepeser uang pun tak ada dalam genggaman, mau tidak mau harus mengutang demi mengisi perut yang terus meronta meminta diisi. Berusaha mengalahkan ego dan gengsi untuk kali ini dikasihani. Memang seperti itu jika tak punya uang. Dikasihani!
Mengapa aku tidak bisa menerimananya? Kehidupan yang serba kekurangan, tapi tidak ingin dipandang sebelah mata? Aih, siapalah diri ini.
"Pak Kohar, saya ngutang beras dulu boleh, yah?" Aku menunduk. Meratapi nasib yang sangat mengenaskan. Sungguh memalukan.
"Boleh kok. Bu Tuti boleh ngutang kapan saja."
Aku mendongak, merasa tersindir dengan kalimatnya. Apakah aku semiskin itu hingga harus berhutang kapan saja? Atau aku yang salah dalam memahami kalimat itu?
"Kalau saya punya uang, segera akan saya lunasi," kataku, lalu pergi dari hadapannya. Membawa satu liter beras dan sayatan dalam hati.



"Buk, tadi Bu Guru bilang kalau ke sekolah harus sarapan dulu." Ayu duduk di kursi yang terbuat dari bambu. Aku ikut duduk dengan tangan yang basah bekas cuci piring.
Seperti apa ibu yang baik itu? Kembali, pertanyaan kecil dalam hati bertanya. Bahkan, untuk kesehatan anak sekalipun aku tak bisa memberikan yang terbaik. Pantaskah aku disematkan sebagai ibu yang baik?
"Kalau gitu, besok sebelum ke sekolah sarapan dulu, yah?"
"Iya, Buk."
Aku kembali bangkit, memikirkan menu makanan selanjutnya. Sementara tak ada tetangga yang membutuhkan tenagaku. Haruskah kembali berutang seperti hari sebelumnya? Bagaimana dengan utang yang belum kubayar kemarin?
Tidak! Mengutang sama saja dengan mengakui jika aku memang orang yang butuh dikasihani. Tidak akan!
Cukup kemarin. Itu yang pertama dan terakhir!





"Ayu!" Aku memanggil anak gadisku yang bersiap berangkat sekolah.
"Iya, Buk?"
"Sarapan dulu."
Dia segera duduk di lantai beralas karpet yang sebagiannya telah bolong.
"Buk, masa cuma nasi sama garam?"
"Memangnya kenapa? Guru kamu juga gak bilang harus sarapan enak 'kan? Yang penting perut kamu gak kosong."
Ayu diam. Perlahan, tangannya bergerak menyendok nasi dan mengambil sedikit garam sebagai lauk.
Perih rasanya, melihat seorang yang disayang hanya makan dengan sangat sederhana tapi mau bagaimana lagi? Ego untuk tidak dikasihani lebih berkuasa dari segalanya. Asalkan perut anak terisi, itu sudah cukup.
Setelah Ayu berangkat sekolah, aku segera keluar rumah. Mencari puing-puing rupiah agar utang yang kemarin bisa dibayar, dan siang nanti Ayu bisa makan.
Satu demi satu rumah tetangga kuketuk. Berharap jika ia membutuhkan buruh cuci atau pekerjaan apa pun, asalkan mendapat bayaran.
"Butuh buruh cuci gak, Bu?"
"Gak, Bu Tut."
"Atau ibu punya kerjaan lain? Barangkali saya bisa bantu." Aku kembali menawarkan tenaga.
"Gaaak, Bu Tuti!"
Hampir seluruh rumah sudah kutanya, tapi hasil tetap sama. Kaki sudah letih untuk melangkah. Sangat sulit mendapatkan uang walau hanya seribu rupiah.
"Butuh tenaga kerja gak, Pak?" Tidak patah semangat, aku mengajukan perganyaan lagi.
"Ibu bisa kerja apa?"
"Kerja apa saja, Pak. Asalkan halal dan dapat upah."
"Saya kebetulan baru pindah, ibu bisa bantu beresin rumah saya?"
"Bi-bisa, Pak." Senang rasanya sampai mulut sedikit gugup mengucapkan kalimat.



"Alhamdulillah," ucapku bahagia sambil menggenggam uang seratus ribu.
Tanpa pikir panjang lagi, aku menghampiri warung pak Kohar untuk membayar utang. Sekalian membeli bahan untuk menu makan siang nanti. Ayu pasti akan sangat senang jika aku membuatkan menu spesial hari ini.
"Pak, utang yang kemarin saya bayar. yah." Aku menyodorkan satu lembar uang yang kupunya.
"Sekalian saya mau beli beras dua liter dan telur 5 ribu." Dalam waktu singkat, Pak Kohar sudah menyiapkan pesanan. Membungkus, lalu menyerahkannya sambil terus tersenyum.
Ia terlihat bahagia melihat aku memiliki banyak uang. 'Lihatlah, Pak, orang yang kemarin kau kasihani kini memiliki uang,' seruku dalam hati.
"Meskipun gak punya, saya gak suka dikasihani." Setelah mengucapkan kalimat itu, aku segera berlalu dengan kebahagian yang tak terkira.



Begitu membuka pintu rumah, kulihat Ayu terbaring lemah di atas kursi panjang. Seragam masih menempel di tubuhnya.
"Ayu, kamu kenapa?"
Tak ada balasan. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi tetap ia bergeming.
Aku segera menggendong dan membawanya ke puskesmas terdekat. Dalam hati terus berdoa agar ia tidak kenapa-napa.
"Ayu, bangun, Nak," gumamku setengah berlari.
"Anak saya kenapa, Mba?" Aku bertanya pada wanita muda yang memeriksa Ayu.
“Melihat kondisinya, sepertinya anak ibu kekurangan gizi. Demi kesembuhan anak ibu, sebaiknya dia dirawat beberapa hari."
Mau tidak mau aku menurut. Memberanikan diri untuk menekan ego soal keuangan. Mungkin aku bisa meminjam ke tetangga dulu.
Biarlah dikasihani, yang penting anak bisa selamat. Lagipula tidak terlalu hina, hanya berutang, tidak mencuri.
Mungkin membiarkan diri dipandang sebelah mata bisa menjadikan diri ini sebagai ibu yang baik. Merelakan segalanya untuk menghidupkan kegelapan dalam hidup Ayu.
Biarkan aku yang bersusah sekarang, kelak jika memang saatnya sudah tiba, Ayu akan menjadi manusia yang bersinar.
Aku cukup berjuang untuk kesehatannya hari ini. Hari esok, jikalau aku sudah tak berdaya, dialah yang akan menjadi lentera dalam hidupku.
Kembali memberikan cahaya yang pernah kupersembahkan untuknya.

Sumber ParentingCenter.id

Biodata:

Seorang gadis yang baru tamat SMA. Remaja yang memiliki selera humor rendah, tapi tidak rendahan. Penyuka sastra dan pecinta sejarah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "#Kamis_Cerpen - Cahaya untuk Anak - Wahyunisa - Sastra Indonesia Org"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.