Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab (2) - Alif Febriyantoro



Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab (2) 

Oleh: Alif Febriyantoro


Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, mereka selalu bertemu di sisi tua jembatan itu. Tepat di sebelah pohon rindang yang menjulur tinggi dari bawah jembatan. Di tempat itu, mereka selalu bertukar sajak. Semua berawal dari sajak, ketika Arila meminta laki-laki itu (laki-laki yang tak ingin disebutkan namanya) untuk menuliskan sajak untuknya. Sampai pada akhirnya mereka berdua saling bertemu dan saling bertukar pendapat. Satu purnama. Dua purnama. Tiga purnama, mereka selalu bertemu. Dan pada sebuah malam, laki-laki itu bermimpi. Dalam mimpinya, ia sedang menggendong anak gadis kecil yang sedang ia angkat ke pundak agar rambutnya menyentuh sulur beringin. Dan di seberang, di sebuah bangku beranda, laki-laki itu melihat wajah Arila dengan bibir yang tersenyum dan menatap ke arahnya. Barangkali itu hanyalah mimpi angan-angan, atau barangkali mimpi baik? Ah bisa jadi itu adalah juga mimpi yang dibantu oleh setan, yang tergolong ke dalam mimpi buruk. Tapi benar kata laki-laki itu, tak ada yang akan tahu perihal hari esok.

Pada akhirnya mereka pun menikah. Dan mereka tinggal di sebuah rumah yang memiliki pohon beringin di halaman depan. Dan setahun setelahnya, mereka memiliki anak perempuan. Entahlah, mengapa mimpi laki-laki itu benar-benar menjadi sebuah kenyataan.

“Aku ingin berumah di bawah teduh pohon beringin. Karena aku adalah bagian dari mimpimu, maka aku ingin mimpi itu mencapai titik sempurna,” pinta Arila ketika mereka berdua sedang duduk di tempat duduk pengantin, “Oh iya, anak kita juga harus perempuan.”

Barangkali Arila memang berlebihan dalam hal meminta. Tapi pada kenyataannya, mimpi itu benar-benar terjadi. Tapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh Arila. Pada waktu usai acara pernikahan, ketika mereka turun dari panggung megah itu, suami Arila mengikuti dari belakang. Mereka hendak memasuki kamar untuk sejenak merebahkan diri karena seharian berpura-pura kuat duduk di kursi pelaminan itu. Arila masuk terlebih dahulu. Tapi seketika suaminya berhenti tepat di ambang pintu kamar. Ia mendengar suara dari belakang. Terdangar suara perlahan, namun begitu jelas.

“Ini adalah sebagian dari takdirmu. Tapi mimpi itu belum selesai!”

Sontak ia menoleh ke belakang. Ia terperangah. Di hadapannya terlihat jelas sepasang sayap membentang di punggung seorang pria. Dan tiba-tiba saja terpancar cahaya yang begitu menyilaukan. Seperkian detik kemudian, pria itu sudah menghilang. Dan suami Arila tidak pernah bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pria yang memiliki sayap itu. Walaupun ia sedikit memahami, apa maksud dari semua kejadian yang telah ia alami.

Sudah dua hari Arila tak sadarkan diri. Raina tetap berada di samping ibunya dengan mata yang sedikit mengantuk. Bunga-bunga di meja sudah hampir layu. Bau obat-obatan menyebar di seluruh ruangan. Orang-orang berlalu begitu saja, terlihat jelas dari kaca jendela yang sedikit tertutup oleh gorden. Lalu, sedang berada di mana suami Arila? Mungkin di balik pintu. Mungkin di kamar mandi. Mungkin sedang berdiskusi dengan dokter. Atau mungkin ia sedang menangis, entah di mana. Ya. Sebab Raina belum mengetahui, bahwa ibunya sedang bergelut dengan maut.

“Ayah ....” Raina mengigau.

“Ayah ....” Raina mengigau lagi.

Lengang.

“Ibu ....” Raina terbangun. Ia melihat sebuah tangan yang menggepuk-gepuk bahunya.

“Ibumu harus dipindah ke ruang sebelah. Ayahmu sedang menunggumu di luar.”

“Ibu ...,” teriak Raina yang seketika berdiri dan memegang kasur ibunya yang sedang didorong oleh dua orang perawat.

Raina keluar dan menghampiri ayahnya yang sedang duduk.

“Ibu mau dibawa ke mana, Yah?”

Lengang.

“Mengapa Ayah mengangis?”

Lengang.

Dokter itu telah berbohong kepada Raina. Satu jam yang lalu, ketika Raina masih tertidur, suami Arila sedang duduk di samping Arila dan Raina, ia menatap wajah keduanya yang sama-sama terpejam. Ia memengang tangan keduanya. Dalam benaknya ia berpikir, bahwa meraka berdua adalah sebuah karya dari Tuhan. Bahwa mereka adalah seseorang yang hadir di dalam mimpinya. Dan dalam keadaan seperti ini, ia masih saja belum percaya dengan semua yang telah terjadi saat ini.

Tangan Arila tiba-tiba bergerak. Kelopak matanya sedikit terbuka. Dengan napas tersengal, Arila berkata pelan.

“Mengapa kita menikah, 20 tahun yang lalu?”

Suaminya hanya menatap Arila dengan wajah yang begitu murung. Ia mempererat genggamannya. Ia memperjelas tatapannya. Dan seperkian detik kemudian, Arila sudah menutup matanya kembali, ia mengembuskan napas terakhirnya. Dan suaminya pun meneteskan air mata. Namun ia, sempat menjawab pelan.

“Seharusnya ... 20 tahun yang lalu, kita tak pernah menikah.”

Tapi dalam hatinya, ia berkata sebaliknya. (*)

Jember, 04 Juli 2017


BIODATA:


ALIF FEBRIYANTORO, kelahiran 23 Februari 1996. Asal Situbondo. Menulis cerpen dan puisi. Kini berdomisili sementara di Jember, sebagai mahasiswa.
No. Telepon    : 089625454446
No. Rekening  : 6531-01-000244-50-8

Email               : aliffebri23@gmail.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tentang Perempuan yang Bertanya dan Laki-Laki yang Menjawab (2) - Alif Febriyantoro"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.