TIME (NOT) HEAL ALL THE WOUND

 


TIME (NOT) HEAL ALL THE WOUND

by

 Salma Dhiya Ulhaq

Mengobati luka yang tak dapat dilihat mata telanjang, bahkan tak bisa disentuh dengan tangan terbuka, bisa membutuhkan waktu seumur hidup untuk kembali pulih, bahkan mungkin saja tak dapat pulih dengan utuh sama sekali. Trauma mengerikan yang hadir pada hidup seseorang, akan hadir kembali jika ada sesuatu yang memicu jika tak ditangani dengan baik. Layaknya seorang dokter bedah yang mengoperasi pasien, tapi mengacau pada operasi yang dikira akan berjalan lancar, penyakitnya akan kembali, atau justru menimbulkan komplikasi baru yang lebih buruk.

“Kamu baik-baik aja, Ave. Terapimu berjalan lancar kok, yang kamu butuhin sekarang tuh semangat hidup yang…” kalimat yang tadinya sekilas hinggap di telinga, sekarang menguar ke udara pengar jalanan yang tetap ramai saat orang-orang seharusnya bekerja.

Aku akan mengatakan kalimat tersebut merupakan salah satu hal yang termasuk dalam toxic positivity, yang mana akan mempengaruhi perilaku seseorang yang mencoba menyangkal hal yang sebenarnya dirasakan dan akan memperburuk keadaan, tapi aku tak bisa melontarkan komentarku karena yang mengatakan kalimat tersebut adalah Anne, yang seharusnya menjadi sahabatku, tapi aku selalu tak menganggapnya sahabat ketika dia mulai menggunakan kalimat-kalimat bodohnya untuk mendukungku. Senyum tipis dengan mata sayu adalah jawabanku setiap dia melontarkan kalimat-kalimat toxic positivity-nya.

“Hari ini aku ada kelas sore, kamu bisa duluan ke kampus.” di persimpangan jalan menuju kampus, dia mengehentikan langkahnya ketika mendengar ucapanku, menatapku dengan tatapan ibanya yang membuatku tiba-tiba mengasihani diri sendiri.

Anne menepuk bahuku dengan tepukan bersahabat, “It’s gonna be just fine,” senyum bersahajanya menghilang saat aku membalasnya dengan senyum kecut. “Hei, aku paham, ini sama sekali bukan hal mudah, kamu harus mulai berani sama mimpi burukmu, sama traumamu. OK?” Punggung kecilnya yang ringkih mulai menghilang dari pandanganku saat dia membelokkan langkahnya pada gank kecil selanjutnya.

Membutuhkan waktu lama untuk menyadari saat ini aku sedang berada di bahu jalan persimpangan, jika tidak mendengar bunyi klakson yang membangunkan lamunan sesaatku. Bukannya melanjutkan langkah menuju kampus yang berjarak beberapa block dari tempatku berdiri saat ini, aku melangkah ke arah sebaliknya, menuju tempat yang hampir satu tahun ini aku kunjungi.

Taman yang berada di dekat klinik tempatku melakukan terapi ini selalu saja sepi, hanya ada beberapa lansia bersama perawat mereka yang sangat jarang mengeluarkan suara sehingga menambah suasana sepi tetapi ada rasa tenang yang hadir.

Aku menghampiri kursi taman yang berada di sudut kiri taman ini, dekat dengan sumur tanpa berisi air yang katanya memiliki kedalaman 30 meter tersebut, mencegah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sumur tersebut sudah di tutup dengan pagar besi. Seringnya, aku hanya akan menatap sumur itu dengan lama, tapi aku memberanikan diri mendekati pagar yang membatasi sumur tersebut.

Sudah sejak kejadian sialan yang membuat Avelitta Renjana, yang dulunya dikenal dengan sosok yang ceria, peduli dengan sekitar, ramah, tidak pernah menanggalkan senyum ketika berpapasan dengan orang lain, kini sudah hilang. Avelitta Renjana yang sekarang seolah terjebak dalam tempat gelap dan enggan mencari jalan keluar atau malah tidak ada jalan keluar dari tempat gelap tersebut, Avelitta yang selalu memiliki energi positif seolah mati begitu saja. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah sanggup lagi untuk tersenyum, setiap kali memejamkan mata, suara berisik sedikit saja, membawaku kembali ke kejadian yang membuatku kehilangan semuanya. Kehilangan semangat hidup, kehilangan rasa percaya diri, kehilangan diri sendiri, aku merasa kotor.

Pikiran-pikiran untuk menyuruhku menyerah dan meninggalkan dunia yang fana ini tidak mau berhenti, setiap kali aku memejamkan mata, selalu terbayang aku yang terjun bebas ke dalam sumur yang berkedalaman 30 meter atau menusukkan pisau tepat di jantung, atau mengiris nadi yang berada di pergelangan tanganku. Tapi aku benci darah, aku benci warna dan bau anyirnya.

Darah hanya akan mengingatkanku kepada kejadian sialan itu, yang selalu membuatku berharap dan bertanya, “Mengapa para bajingan itu tidak membunuhku secara fisik saja?” karena walaupun aku ingin sekali mengakhiri, aku selalu teringat wajah orang tuaku yang sedang bersusah payah mengumpulkan pundi uang untuk pendidikanku yang sekarang sudah hancur lebur, dan aku tidak akan sekali pun tega meninggalkan Anne, sahabat terbaikku yang selalu mendukung dan menemaniku apapun keadaannya, di saat teman-temanku yang lain memilih untuk menarik diri dariku.

Tapi rasa-rasanya aku ingin egois, aku tidak ingin memikirkan mereka, aku ingin ini semua segera berakhir.

Para bajingan itu membunuhku secara mental, lebih menyakitkan karena semuanya terjadi sangat perlahan.

“Hei! jauh-jauh dari sumur itu, kamu ngapain!?” aku terlonjak kaget mendengar seruan itu dari arah belakang. Mataku terpejam mengurai sesak yang kian menjadi, teriakan seseorang bernada keras ini memicu pikiranku untuk mengingat---

Malam itu aku berjalan menuju parkiran kampus yang terlihat masih ramai oleh kendaraan mahasiswa lain, mungkin mereka masih sibuk rapat organisasi, sedangkan aku sendiri betah di perpustakaan karena sedang mencari referensi buku untuk tugas penelitian yang sedang aku garap. Sejujurnya aku agak sedikit was-was karena entah mengapa aku merasa ada yang mengikutiku, tapi setiap kali aku membalikkan badan, tidak ada siapa-siapa di sana.

BRAK!

Suara keras dari arah belakang, membuat refleks tubuhku bereaksi menolah ke belakang, tetapi semua terjadi dengan begitu cepat.

Secara mendadak, pandanganku tiba-tiba gelap, aku ingin menjerit berteriak, tetapi mulutku dibungkam oleh tangan besar yang menahan tubuhku agar tidak bergerak, aku mencoba melawan, menendang, menyikut tubuh itu, dadaku sesak, bohong sekali jika aku mengatakan tidak takut dan tidak berprasangka buruk.

Tubuhku diseret entah kemana dengan badan yang terus meronta, tiba-tiba saja, aku merasakan badanku melayang.

Seseorang mengangkat kakiku, ini seperti kerja sama tim. Aku bahkan mendengar mereka bercakap dengan nada berbisik.

“…di sini aja, aman. Udah nggak kuat—“

“…yakin di sini aman?”

Suara-suara lainnya masih saling bersahutan, aku masih mencoba mengeluarkan suara, tetapi rasa-rasanya aku seperti kehabisan napas, mataku masih tertutup oleh kain dan mulutku masih dibungkam, semakin erat. Ketakutan semakin merajai perasaanku ketika aku merasa kedua tanganku diikat ke atas, semakin merasa ketakutan ketika aku merasa bajuku ditarik dengan kasar, aku berjingat kaget saat sebuah tangan menjamah tubuhku, ini masih tubuhku.

Aku masih berusaha meronta, sama sekali tidak peduli ketika badanku terasa sangat sakit, aku tetap memaksakan diri untuk menjerit meminta tolong walaupun akhirnya yang keluar hanya pekikan tertahan yang sangat menyedihkan.

Tolong, siapa pun tolong, Ya Allah tolong kirimkan malaikat penyelamat-Mu, Tolong hamba yang lemah ini, Ya Allah. Pak…Ibu…Anne… Tolong, siapapun tolong….

Badanku dipukul, aku bahkan merasakan kepalaku mengeluarkan darah karena terlalu banyak memberontak, masih bisa dengan jelas ku rasakan darah mengalir dari dahi, kepalaku sangat pusing, aku merasa sudah tidak sanggup meronta.

Aku menggigil ketakutan, tolong bunuh aku saja, tolong, bunuh aku saja, jangan biarkan aku hidup. Kata itu aku rapalkan berkali-kali.

Tangan yang menjamah tubuhku tidak hanya satu tangan, bahkan aku takut menghitung. Para bajingan itu sama sekali tidak mengeluarkan suara, aku sama sekali tidak bisa mengenali mereka. Bahkan aku tidak tahu menahu di mana keberadaanku.

Tolong hamba-Mu yang lemah ini, Ya Allah. Pak, Ibu, maafkan Ave, maaf, maaf.

“Hei! Lagi ngapain, kalian!” suara teriakan keras bernada tajam itu menyelamatkanku. Setelahnya, aku tidak tahu apa yang terjadi. Semua terasa samar dan sangat menakutkan untuk sekadar diingat.

Itu hanya tahap denial, karena tiga hari setelah kejadian itu, semua potongan-potongan kejadian dengan otomatis terputar di pikiranku, berulang kali. Setelahnya, aku hanya banyak melamun, kemudian berteriak dengan sendirinya karena pikiran-pikiran buruk yang menghantui.

Satu tahun ini bagaikan mimpiku yang paling buruk. I was raped and I don’t know whose did that filthy-traumaticly-and-evil thing to me.

Did i do something wrong?

Was there something wrong with my clothes that day?

Did I hurt people so badly?

Is this my karma?

Sejak saat itu, aku selalu menyalahkan diriku sendiri atas apapun.

“…Mbak, jauh-jauh dari sumur itu, please, stay back! Are you okay?” suara itu kembali menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Entah apa yang terjadi, tapi ternyata aku sudah berada di pinggiran sumur, melewati pagar pembatas sumur ini entah dengan cara yang seperti apa, aku bahkan tidak menyadarinya.

 Tangisku semakin deras, padahal aku sudah mencoba mati-matian untuk mematikan emosiku yang satu ini. Tanpa menanggapi ucapan orang tadi, aku berbalik dan berjalan cepat meninggalkan taman tanpa menoleh sedikit pun.

Selama berjalan menuju ke arah kost, aku berjalan cepat sambil menahan napas, dadaku rasanya sesak sekali, sangat ingin sekali berteriak keras saat ini. Sesi terapi yang aku jalani selama hampir sembilan bulan ini sepertinya tidak membuahkan hasil. Rasanya sesak sekali sekan-akan rongga dadaku ingin meledak mengeluarkan semua beban hidup yang ku jalani. Aku takut melangkah maju.

Sesampainya di kost, aku belum menemukan Anne, tapi aku tidak peduli, aku hanya butuh berteriak sangat keras sehingga dapat mengatasi rasa sesakku yang kian menjadi ini. Tanganku sibuk menjambaki rambut untuk menyuruh suara-suara dalam kepalaku kembali tenang, aku tidak ingin bergantung pada obat, minum obat penenang bukan menjadi pilihanku saat ini. Melihat pisau di dapur, aku berpikir untuk mengambilnya, tetapi aku masih berusaha menahan diri, impulseku sangat mengerikan hari ini.

Tubuhku luruh di dekat lemari kabinet dapur, aku ingin egois, masih dengan dada penuh sesak dan perasaan yang tak karuan, aku menelungkupkan kepala di antara tekukan lututku.

“Stop crying, stop crying, please, stop crying.” dengan tangan yang sibuk menjambaki rambut dan memukul-mukul agar suara di kepalaku tenang, aku merapal kalimat yang sama sekali tidak berguna. Keinginan untuk mengambil pisau itu hadir lagi sesaat sebelum Anne tiba-tiba membuka pintu kostan dengan wajah panik dan napas yang memburu.

“Ave?!”

Kakiku memaksa berdiri dengan tergesa, “Please, stop right there, don’t move!” aku balas berteriak. Tanganku dengan refleks mengacungkan pisau ke arahnya.

“Ave, please, don’t do this,” suaranya lirih, Anne berkata dengan bibir bergetar.

Pandanganku kabur oleh ait mata, “It won’t stop, Anne, I can’t. I don’t want to live like this anymore, I can’t survive!”

Yes you are, kamu Avelitta, kamu lebih kuat dari ini, kamu nggak akan menyerah gitu aja, kamu sahabat terhebat yang aku punya, please, don’t do stupid thing.” suara sahabatku itu terdengar sangat-sangat memohon.

“Stop saying bullshit, kamu nggak akan pernah ngerti apa yang aku rasain sekarang!” aku mulai goyah, tubuhku lemas. “Kamu nggak akan ngerti gimana menderitanya ini semua Anne, everytime I close my eyes, they are in there, mocking me! Kamu nggak akan ngerti gimana takutnya aku menjalani hidup satu tahun ini dengan perasaan was-was dan selalu menyalahkan diri sendiri, perasaan  ini nggak bisa berhenti! kamu nggak akan ngerti! jadi, please, jangan bicara omong kosong lagi kalau aku akan baik-baik aja!” aku melanjutkan kalimat itu dengan nada tinggi, meluapkan semua emosi yang tersisa.

“I do! of course I do know what you feel! I've been in your position. But please, don't hurt yourself, it hurts me so much.” teriakan Anne yang kemudian melanjutkan kalimatnya dengan suara lirih membuatku membelalakkan mata kaget.

Tanpa bisa dicegah, tubuhku luruh kembali ke lantai, “H-how? what happened?” melihatku yang terlihat lemas, Anne berlari menghampiriku dan memelukku erat sekali, aku merasakan bahunya bergetar hebat dan masih terisak pelan.

“You are my only best friend, you’re my sister, I need you alive,” aku masih mendengar suaranya yang lirih, aku balas memeluknya erat, dia terlihat rapuh sekali.

“Anne, what’s wrong?” Ia mengangkat kepalanya dari bahuku, menyelipkan senyum miris dalam wajahnya yang masih basah karena air mata itu. Anne kemudian ikut duduk di lantai bersamaku.

Anne mengedikkan bahu singkat sebelum memulai ceritanya, “My ex-boyfriend was raped me in my own bed, it was three years ago. He forced me to did that, all I can do just cry and he abused me. Aku cerita sama temen-temen SMAku waktu itu, bahkan bikin laporan ke dosennya, tapi mereka cuma ngetawain itu dan nganggep sepele, mereka bilang itu kegiatan mau sama mau, padahal dengan jelas waktu itu mataku ungu sebelah karena dia nonjok aku.”  

Aku menutup mulut karena sangat terkejut mendengar fakta yang baru ku dengar setelah aku mengenal Anne selama hampir seumur hidupku, dia sahabatku dari kecil, hanya saja kita memilih sekolah yang berbeda ketika SMA. Mendengar cerita itu, aku sangat merasa bersalah kepada Anne karena tidak ada di sisinya ketika dia sangat membutuhkan seseorang untuk mempercayainya, bahkan aku sempat menganggapnya tidak suportif dan memberiku toxic positivity padahal dia melalui kejadian mengerikan itu sendirian.

Seketika, aku melupakan semua emosiku yang tadinya tercampur aduk, “Kamu nggak pernah cerita, I wish I could help you through that nightmare,” semua rasa campur aduk tadi berganti menjadi rasa bersalah kepada Anne. Tidak dipercayai setelah bercerita tentang kejadian buruk yang dialami pasti sangat mengerikan, apalagi hal itu dilakukan oleh orang yang dia percaya.

“I’m better now and I trust you, you can too. Jangan biarin para bajingan itu menang karena tahu kehancuran kamu sekarang ini, Ave. Kamu harus bisa mengontrol semua trauma kamu agar lebih baik karena aku yakin itu semua nggak akan hilang dengan sekejap dan pasti akan ngikutin kamu sampai seterusnya, untuk itu, kamu harus bisa ngontrol trauma kamu, ayo kita cari tau semuanya, buat mereka dapet ganjaran yang setimpal. Agar kejadian yang kamu alamin nggak kejadian juga ke perempuan lain. Aku tau kamu bisa, you’re survivor, I know, it’s still in you.” Perkataan Anne membuatku semakin terharu dan menangis dengan emosi yang tidak keruan, bagaimana bisa ada orang setangguh dan sebaik Anne?

Anne, thank you so freekin much for always in my side whenever I need. Please, I want to be usefull for you, cerita apapun ke aku kalau kamu butuh temen cerita, jangan sembunyiin cerita-cerita menyedihkan lagi dari aku,” aku kemudian memeluknya erat, berkata dengan suara yang masih sesenggukan. Terima kasih Ya, Allah telah memberikan hamba seorang sahabat sebaik Anne.

“I’m so sorry for not telling you, gimana perkembangan kasus kamu?” kami melepaskan pelukan singkat tersebut, mendengar itu, aku tersenyum kecut.

“Nggak ada hasil, padahal aku sudah melakukan visum, bukti-bukti sudah kekumpul, tapi laporanku nggak ditanggepin dengan baik, you know the rest of the story..” helaan napas berat keluar dari bibirku, aku tidak akan tenang seumur hidup kalau para bajingan yang menghancurkan semua yang aku punya itu masih bisa berkeliaran bebas, takutnya lagi kalau saja mereka melakukan perbuatan bejatnya ke orang lain.

“Kamu gabung ke komuniatas Gerpeda (Gerakan Pencari Keadilan) aja gimana? itu komunitas yang nggak diketahui pihak kampus karena anggotanya para korban pelecehan seksual di kampus, mereka juga survivor, banyak yang struggling juga. Mereka juga yang bantu aku survive selama ini. Aku tahu, kamu belum mau kembali ke kampus, tapi aku akan ngomong ke mereka kalau kamu mau ketemuan di luar kampus. Want to join?”

Aku tersenyum menanggapi, “I’d love to join them.”

Dan di sinilah aku lima hari setelahnya, di depan gerbang kampus yang aku tinggalkan dari lama, meninggalkan kewajibanku untuk menuntaskan pendidikan. Sekarang ini aku ditemani beberapa orang baru yang aku kenal dari komunitas Gerpeda, aku kembali mendapatkan rasa percaya diriku walaupun aku tiba-tiba merasa takut setengah mati.

“It’s okay Ave, take your time, we will step in whenever you’re ready.” itu suara Mbak Kelly yang memberiku semangat. Aku menatap ke sekeliling, teman-teman baruku itu memberi senyum tulus penuh dukungan.

Tatapan mataku beradu dengan Anne, aku menatapnya dengan penuh keraguan, tapi dia mengulurkan tangannya, yang kemudian aku sambut. “It’s just a huge-stupid-campus, they’re won't find you. Not anymore.” ujarnya dengan nada yang meyakinkan, aku tersenyum dengan penuh terima kasih untuk menanggapinya, kemudian mengambil langkah berani untuk melangkah.

Aku menoleh ke belakang, teman-teman baruku yang jumlahnya sekitar delapan orang, masih setia mengikutiku di belakang, ada juga yang berjalan di samping kanan dan kiri Anne. Barulah aku merasa aman, sepertinya Allah memang sedang mengirimku malaikat penyelamat, teman-teman baruku inilah jawabannya.

Walaupun aku yakin kehidupanku tidak akan berjalan dengan mulus dan penuh dengan jalan terjal menuju akhir perjalanan, aku merasa cukup dan aman, setidaknya untuk saat ini, karena kita tidak akan tahu skenario mana lagi yang Allah ciptakan untuk para Hamba-Nya. Kita bahkan tidak akan bisa menebak apa yang terjadi untuk satu jam ke depannya nanti, bahkan satu detik pun. Sekali ini saja, aku ingin perasaan cukup dan aman ini yang mendominasi.

TAMAT

TENTANG PENULIS

Salma Dhiya, an ambitious person who loves to write and sees it as a stress reliever, but is overcome by insecurities, so she writes down her feelings anonymously. Likes to watch movies, series, also read books, and find it enough to please herself by admiring fictional characters. Trying the best she can do to become an independent woman who can fulfill her own desires.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TIME (NOT) HEAL ALL THE WOUND"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.