Kiat Asyik Menulis Nonfiksi oleh Maulida Ayu

 



Notula Sharing Kak Maulida Ayu

“Kiat Asyik Menulis Nonfiksi dan Tips Tembus Penerbit Mayor”

Sastra Indonesia Org bersama Tim Master Your Pain

 

Tanggal                   : Sabtu, 15 Agustus 2020

Waktu                    : 20.00—22.00 WIB

Tempat                   : WAG Sastra Indonesia Org

Jumlah Peserta         : 140

 

Penyelenggara:

 

Sastra Indonesia Org

Founder SIO: Anisa AE

Ketua SIO dan Moderator: Anjar Lembayung

Narahubung: Sherrly

Notulis: Fajriy

 

Tim Master Your Pain

Kak Aisyah

 

Pemateri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sharing

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Halo, selamat malam, teman-teman semua. Pertama-tama terima kasih kepada Sastra Indonesia Org yang telah memberikan kesempatan buat saya sharing di sini untuk ngomongin soal “Kiat Asik dalam Menulis Nonfiksi. Nah, kebetulan buku saya yang baru saja rilis Agustus ini genrenya nonfiksi, tapi kategori self improvement (pengembangan diri) karena kan nonfiksi itu banyak ya tipe-tipenya.

Gimana sih caranya biar bisa tembus penerbit mayor? Dan gimana sih cara biar kita bisa ngerasa asik dalam menulis buku nonfiksi? Nah, buat aku, yang pertama adalah kita harus mengetahui dulu apa sih yang termasuk ke dalam persiapan kita untuk memulai menulis. Kita harus mengetahui dulu apa yang termasuk ke dalam persiapan kita untuk memulai menulis. Aku meramunya menjadi rumus 5M: menemukan motivasi menulis, menentukan kategori fiksi atau nonfiksi, mencari keunggulan tulisan, melakukan riset pasar, dan melakukan benchmarking.

M yang pertama, menemukan motivasi untuk menulis. Jadi, menemukan motivasi ini sebetulnya erat kaitanya dengan bagaimana kita bisa ngerasa asik dalam menulis. Sebelum menemukan motivasi besar, menemukan why (alasan) dalam menulis, kita enggak akan enjoy ketika nulis. Jadi, ini memang salah satu cara untuk bisa terus bangkit dan gak gampang nyerah. Misalkan biasanya kita dalam nulis itu mengalami ide stuck. Kalau kita punya motivasi untuk menulis, kita akan tetap merasa “Ya udah, kalau gagal coba lagi. Ya udah, kalau jatuh bangkit lagi” kayak kata bang Saykoji.

M yang kedua adalah menentukan kategori, fiksi atau nonfiksi. Kaitannya adalah kita harus tahu dulu perbedaan fiksi dan nonfiksi. Perbedaannya ada dari penggunaan gaya bahasa, majas, diksi, alur, juga perbedaan metode riset. M yang ketiga, mencari keunggulan tulisan. Jadi, kita harus tahu dulu keunggulan tulisan kita. Yang terakhir adalah melakukan benchmarking. Intinya adalah kalau mau nulis, kita harus banyak baca. Apa lagi nonfiksi harus banyak-banyak riset karena akan ada daftar pustaka. Karena bukan fiksi, ya, bukan imajinatif.

Setelah kita tahu apa aja persiapan yang harus kita lakuin sebelum memulai tulisan kita, yang kedua adalah gimana sih caranya biar kita bisa dapat ide? Gimana sih biar kita bisa berproses untuk mendapatkan ide tulisan yang kita pengen tulis? Jadi, kalau kata Sherlock Holmes, dia bilang kalau “ide atau apapun itu bukannya nggak kelihatan tapi kita yang nggak perhatian.” (You see, but you do not observe—Arthur Conan Doyle). Jadi, kita yang nggak observasi, kurang peka gitu. Caranya simpel banget, aku sebutnya pdca yaitu pikirkan, dengarkan, carikan, dan abadikan.

Karena di sini nonfiksi, kita bahas khusus ke buku self improvement. Pengalamanku awal banget nulis buku “Master Your Pain”, yang pertama aku lakukan ketika membentuk sebuah ide-ide yang berkeliaran di kepala adalah dengan terlebih dahulu membaca buku-buku self improvement. Jadi, aku harus tahu dulu apa sih yang orang cari dari sebuah buku self improvement?

Nah, setelah aku sadar kalau ternyata banyak orang yang ngerasa, yang masih mikir Ih, kenapa sih saya harus baca buku self improvement? Kan, itu cara pandang orang lain. Dari situ saya tahu harus nulis buku yang bisa menjelaskan bahwa buku self improvement adalah sebuah pisau analisis atau kacamata yang kita gunakan dalam memandang sebuah masalah atau sesuatu dalam hidup kita kita.

Kalau kayak gitu, kita tahu nih kalau setiap buku self improvement pasti punya nilai-nilai dominan yang penulisnya percaya, misalnya bukunya Mark Manson yang “Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat” (The Subtle Art of Not Giving A F*ck) atau buku “Berani Tidak Disukai”, ya, itu nilai dominan yang dipegang sama penulisnya atau seni minimalis, itu nilai-nilai yang yang dipercaya sama penulisnya.

Ketika nulis buku “Master Your Pain” itu, aku lagi ngobrol sama temen. Oh iya, kita kan kalau lagi sakit hati harus tetap kuat nih, harus tetap mengubah itu jadi kekuatan. Jadi turn the pain into power. Di situ tuh aku dapat ide. Kenapa nggak coba aku tulis?

Jadi, pertama, kita bisa coba tanyakan pada diri kita “nilai dominan apa sih yang kita percaya?” Atau bisa juga kita nanya-nanya ke diri sendiri “kejadian apa ya yang sampai saat ini kita pasti ingat?” Yang paling penting, ketika kita udah dapetin ide-ide itu, pecahan-pecahan itu, kita harus tahu juga “pesan apa sih yang kita pengen sampaikan ke orang?”

Setelah kita dapat ide, jangan lupa ada catatan yang penting banget, rekam dalam bentuk suara; catat dalam bentuk kerangka atau mind map; atau bisa juga kita selalu siapin HP kita untuk buka notes.

Kucoba bahas untuk yang “abadikan” atau yang kita sebut sebagai “ikatlah ilmu dengan tulisan.” Catat atau tulis ide-ide yang kita dapat sebelumnya dalam bentuk kerangka atau outline. Pengalamanku ketika dapat ide, langsung kutulis dalam daftar isi. Jujur, ini ngebantu banget karena kita kan nggak pernah tahu kapan kita dapat writer's block atau kapan kita pengen stop nulis tiba-tiba. Mungkin mood kita lagi jelek atau gimana. Tapi, ketika udah nulis kerangka, ketika kita pengen lanjut lagi, ya alhamdulillah ide kita enggak benar-benar hilang karena udah ada poin-poin penting yang sempat kita catat. Mungkin memang ada beberapa yang diganti, tapi masih bisa aku lanjutin. Misalkan gak bisa daftar isi karena banyak banget, belum dapet nih ide sebanyak itu, nggak papa. Mungkin bisa coba tulis dari contoh kasus atau percakapan yang kita pengen masukin dalam buku. Kerangka bisa juga dalam bentuk poin-poin. Nah, ketika kita tahu cara melakukan persiapan sebelum menulis dan dapat ide dari mana, perlahan, kita akan bisa dapetin feel yang membuat kita ngerasa asik dalam menulis nonfiksi.

Gimana sih proses biar bisa terbit ke Penerbit Mayor? Ini emang sesuatu banget. Sebenarnya, aku lolos di penerbit mayor tuh unik. Kalau ditanya “kenapa sih pengen Gramed?” Ya, mungkin Gramedia itu adalah impian semua orang. Karena Gramed tuh penerbit Mayor yang katakanlah salah satu terbesar di Indonesia.

Sebetulnya aku punya impian untuk diterbitkan di situ, tapi nggak kepikiran banget untuk Gramedia Pustaka Utama langsung. Memang ketika menyasar Gramedia Pustaka utama, aku udah coba riset, “apa sih yang kira-kira sesuai sama kebutuhanku dan kebutuhan penerbit tersebut?” Jadi, saran pertama adalah kita harus menemukan penerbit yang sesuai dengan kebutuhan. Misalkan kita pengen nerbitin buku self improvement, tapi kita ngirimin ke penerbit yang dia cuma mau nerima atau mayoritas naskah yang dia terima itu adalah naskah anak, ya nggak masuk, otomatis ada kemungkinan ditolak.

Kedua, pastikan mengirimkan naskah yang terbaik. Kenapa? Karena aku dapat tips langsung dari editorku yang beliau itu 16 tahun kerja di Gramedia, beliau editor senior gitu, banyak banget pengalamannya. Beliau cerita kalau sebetulnya editor paling males kalau ngeliat naskah yang banyak typo. Karena itu kan kayak kita enggak serius dinilainya. Jadi, udah pasti disingkirin tuh sama editor. Nah, makanya kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengirimkan naskah yang terbaik, setidaknya minimal versi kita.

Apa aja sih yang termasuk kategori naskah terbaik? Sebetulnya, setiap naskah pasti punya keunggulan sendiri, dong. Tapi, kita juga harus tahu keunggulan naskah kita. Kita bisa ngirimin sinopsis naskah singkat, padat, dan jelas. Karena ada beberapa penerbit yang agak kesal ketika penulis itu malah ngirimin sinopsis naskah yang mirip spoiler.

Misalnya aku nulis “Master Your Pain”, aku ngasih tahu isinya kayak gini isinya adalah cara kita mengolah rasa sakit, caranya ya, ikutin detalinya. Nggak bisa gitu. Di sinopsis itu kita harus ngasih tahu semua jawaban yang ada di naskah kita, tetapi dengan singkat, dan jelas. Kemudian, kalau bisa format naskahnya rapi sesuai dengan persyaratan. Setiap penerbit pasti udah ada persyaratannya sendiri di website mereka.

Yang paling penting, sebisa mungkin kasih judul yang unik dan menarik. Kenapa? Karena itu salah satu hal utama, bukan hal utama, hal pertama yang bakalan dilihat sama penerbit. Kata editorku, yang masuk ke Gramedia itu satu hari bisa ratusan sampai ribuan. Pasti naskah kita nyempil di situ, kan? Biar bisa kelihatan, naskah kita itu judulnya harus yang unik dan menarik.

Pembahasan yang terakhir adalah soal selling point. Sesuatu yang sangat krusial ketika kita pengen tembus penerbit-penerbit yang luar biasa, seleksinya ketat banget adalah kita harus tahu “apa sih keunggulan naskah kita?” Jadi, sebetulnya selling point di setiap penerbit itu beda-beda karena setiap penerbit punya standardisasinya masing-masing.

Menurut pengalamanku, ada tiga hal yang mereka cari. Pertama, naskah yang idenya bener-bener sama dengan ide yang ada di pasar, misalnya sekarang kita lagi ngomongin covid-19. Tulisan-tulisan tentang covid-19 ada di mana-mana dan menjadi salah satu tulisan yang sudah viral di lapangan, menjadi sebuah tren. Ketika kita pengen mendapatkan keunggulan naskah dari sesuatu yang terjadi di lapangan, sudah sering dibicarakan, itu nggak papa. Karena ini apa yang kita sebut sebagai repetition atau pengulangan yang dilakukan untuk bisa menyasar orang-orang yang memang mencari itu. Kenapa? Karena Emang itulah yang ada di lapangan, itulah yang ada di pasar, itulah target pasar kita.

Kedua, kita juga bisa mencari keunggulan naskah kita di bagian yang membuatnya sama tapi beda. Misalnya, mungkin ini overrated menurut orang-orang, tapi menurutku bisa jadi contoh. Bukunya Mark Manson kan viral banget yang oranye jadi best seller. Sebenernya pembahasan dia kan nggak jauh beda, dia ngomongin “gimana sih biar kita bodo amat?” Tapi, dia merangkumnya menjadi sesuatu yang beda. Udah banyak yang ngomongin “gimana caranya biar kita nggak terlalu pusing sama kata-kata orang?” “Gimana caranya biar kita nggak terlalu mempedulikan hal-hal yang nggak penting?”

Ketiga, apa yang membuatnya berbeda benar-benar berbeda. Jadi, dia nggak lagi dibicarakan, dia biasa aja, standar aja. Tapi, dia beda. Ini yang kuambil ketika nulis “Master Your Pain.”

Jadi, di penerbit Gramedia itu keunggulan naskah tergabung dalam sinopsis. Setelah nulis sinopsis, kita ngasih tahu keunggulan naskah kita. Di situ aku tulis pendek aja, nggak terlalu banyak, satu paragraf waktu itu. Aku bacain:

“Buku self improvement biasanya menyajikan kata-kata motivasi yang terdengar sangat baik dan indah,” kaya nyemangatin gitu-gitu kan, yang biasa kita denger. “Namun, fakta yang terjadi di lapangan,” aku riset juga kalau “orang-orang sebetulnya udah mulai agak nggak tertarik dengan kisah pengembangan diri yang biasa aja. Maka, buku ini hadir dengan konsep yang anti mainstream, yakni Master Your Pain.” Jadi, pain gitu, ngapain? Kenapa sih itu sakit kok malah dijadiin kekuatan?

Itu yang aku jadikan sebagai selling point. Sesuatu yang menurutku akan membuat penerbit penasaran. “Kok bisa sih kebalik banget gitu konsepnya?” Jujur, waktu itu sebetulnya aku udah sempet nanya sama editorku “kenapa sih Pak, kok tertarik sama naskah saya?” Terus beliau cerita, simpel banget. Jadi, pertama dia bilang kalau pada saat itu dia lagi kesel. Orang pasti punya, dong, tahap di mana dia kesel. Dia kerja kan, nyari, ngubek-ngubek naskah di email yang nauzubillah banyak kata dia, terus, dia nemu judulku yang “Master Your Pain.” Aku udah garisbawahin, bikin judul yang menarik. Dia bilang, “Kayaknya seru nih, kebetulan saya lagi kesel.” Aku bilang, “Kan, nggak mungkin cuman dari judul?” “Betul, tapi kan, itu yang pertama kali dilihat.” Jadi, pas udah diklik, dibuka gitu isi naskahnya, pas dia baca, “Wah iya ya, naskah ini beda banget.”

Kalau pengalamanku, aku coba referensi dari beberapa tulisan yang memang ada di penerbit mayor dan jadi best seller, ada tiga poin yang mereka jadikan andalan dalam menulis untuk bisa menarik penerbit atau mungkin menarik pembaca: Apa yang membuatnya benar-benar sama? Apa yang membuatnya sama tapi berbeda? Apa yang membuatnya benar-benar berbeda?

Terima kasih.

 

 

 

 

 

Tanya Jawab

Penanya 1: SiMooza

Pertanyaan    : Biasanya Kakak riset langsung atau referensi bacaan?

Jawaban        : Saya waktu nulis buku MYP, melakukan dua-duanya. Ada yang saya riset lewat survei sederhana, ada yang tentunya saya diskusikan kepada beberapa orang. (diskusi ini termasuk riset juga) Sisanya, dari buku, jurnal, artikel jurnal, dan sumber kredibel lainnya.

 

Penanya 2: Farkhatul Ummi

Pertanyaan    : Bagaimana cara mengasah intuisi?

Jawaban        : Mengasah intuisi ini sebetulnya bisa dilatih dengan: Mendengarkan.

“Mendengarkan adalah proses menemukan jawaban.”

Caranya gimana?

1. Diskusi dengan teman atau kelompok

2. Minta orang-orang yang tidak suka membaca untuk baca naskah tersebut

3. Saling berbagi pengalaman

4. Mendengarkan diri sendiri

 

Penanya 3: Betty

Pertanyaan    : Apakah menulis nonfiksi, apalagi tentang self improvement, harus dari pengalaman sendiri? Sedangkan, kadang diri sendiri ngerasa nggak punya banyak pengalaman.

Jawaban        : Sebetulnya ketika kita menulis buku self-improvement, ada hal-hal yang kita pertanggungjawabkan. Misalnya, penulis memberikan nilai “Seni Minimalis” dalam bukunya, tapi faktanya dia boros dan gak menerapkannya, maka pasti pembaca akan meragukan kredibilitas, dong. Logikanya, apakah kita mau percaya pada orang pemabuk yang menulis buku “Jangan mabuk?”

Kalau dibilang gak banyak pengalaman, pasti ada. Kalau belum banyak, coba dibanyakin. Belajar terus, gali terus ilmu nya. Dan, peka sama nilai-nilai dominan dalam hidup kita.

 

Penanya 4: Anjar Lembayung

Pertanyaan    : Sebenarnya latar belakang penulis itu berpengaruh enggak sih sama pertimbangan editor Penerbit Gramedia untuk diterima atau tidak?

Jawaban        : Tergantung penerbitnya. Kalau Gramedia, sepertinya presentasenya kecil dalam melihat latar belakang penulis. Dilihat juga dari persyaratan pengiriman naskah, mereka hanya meminta biodata singkat penulis. Namun, ada beberapa penerbit mayor yang ternyata meminta penulis mengirimkan CV. Nah, itu dasar penilaian kita bahwa mungkin ada beberapa penerbit yang mempertimbangkan latar belakang penulis tersebut.

 

Penanya 5: Septi

Pertanyaan    : Gimana sih caranya mengetahui typo apa bukan?

Jawaban        : Caranya adalah bersahabat dengan kbbi hehe.

 

Penanya 6: Rere

Pertanyaan    : Punya nama pena itu menarik perhatian gak sih?

Jawaban        : Setahuku sih enggak hehe karena editor gak peduli nama penulisnya siapa hehe kecuali ya, penerbit yang melihat dari potensi pasar yang bisa didapatkan dari penulis tersebut. Misalnya, nama pena A udah terkenal di sosial media, karyanya diminati banyak orang, sudah punya konten-konten yang bagus. Nah, kemungkinan ketika penerbit lihat nama pena itu kirim naskah ke mereka, pasti akan dipertimbangkan. Tapi balik lagi, penerbit biasanya melihat substansi naskah hehe.

Penanya 7: Farhana

Pertanyaan    : Cari judul yang unik itu terinspirasi dari mana? Kadang suka enggak pede sama judul.

Jawaban        : 1. Liat target pasar dulu, mau menyasar kemana. 2. Tau dulu keunggulan naskah kita apa 3. Banyak-banyak membaca buku, jadi, bakal ketemu inspirasinya.

 

Penanya 8: Feby

Pertanyaan    : Kalau mengirim ke penerbit kan ada keunggulan dan sinopsis cerita. Nah, itu dijadikan satu file dengan naskah atau beda?

Jawaban        : Berbeda-beda setiap penerbit. Ada yang digabung sinopsis (misalnya dalam satu file tapi beda halaman), ada yang cuma ditaruh di body email, ada juga yang diupload dalam websitenya. FYI, sekarang, kirim naskah ke gramedia bisa di dps.gramedia.co.id

 

Penanya 9: Tu

Pertanyaan    : Untuk kirim naskah, ada template atau sesuai keinginan penulis? Kalau penerbit indie, kan, ada, kalau mayor ada apa tidak?

Jawaban        : Kalau penerbit mayor biasanya ada syarat-syarat standar aja. Misalnya font 12 spasi 1,5 font TNR, margin sekian. Dan minimum lembar naskah (misalnya 100 halaman maksimal 200 halaman). Untuk layout dll, kalau Gramedia nanti ada setternya yang urus itu hehe

 

Penanya 10: Upi

Pertanyaan    : Kaidah Kaizen QCC ya Kak. Sebetulnya saya ingin sekali menulis nonfiksi tentang perjuangan anak saya melewati emfisema beberapa tahun yang lalu. tetapi saya bingung menentukan pasarnya karena kejadian ini terjadi 1 banding 1000 kelahiran bayi

Jawaban        : Halo .... Wah, ini menarik banget, Mbak. Kalau soal pasar, sebetulnya tergantung merangkumnya. Bisa aja dimainkan di gaya bahasa, alur, dan diksi kata yang digunakan. Meskipun kasusnya langka, namun jika pesan yang disampaikan bisa dimengerti oleh anak-anak remaja/muda/dewasa, maka target pasarnya justru akan luas, Mbak. Semangatt!!

 

Demikian notula sharing kali ini. Terima kasih telah mengikuti acara kami. Semoga mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sampai jumpa di acara sharing berikutnya.

 

Salam Literasi,

Penyelenggara,

 

 

Sastra Indonesia Org bersama Tim Master Your Pain

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kiat Asyik Menulis Nonfiksi oleh Maulida Ayu"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.