Cerpen - Opera yang Tidak Pernah Dimainkan - Sastra Indonesia Org







Opera yang Tidak Pernah Dimainkan


Nyanyian Titi Kemuning di pucuk Walikukun diiringi embusan angin dari timur ke barat. Di sisinya Suryadaksa duduk termangu, membiarkan nada-nada lagu Indonesia Pusaka merasuk melalui gendang telinga hingga syaraf-syaraf kranial. Suaranya mengalun tanpa diiringi alat musik, kadang mencapai titik empat puluh delapan semitone.Suryadaksa sangat menyukai saat Titi setengah menunduk untuk mengeluarkan suara alto, bukan berarti dia tidak menyukai vokal tinggi perempuan itu, apalagi mengenai vibrato yang hanya disuarakan di masa-masa pertunjukan Opera Titik Terang. Titi Kemuning benar-benar sukses mengontrol sesuatu yang disebut suara kepala dan dada, terus membuat Suryadaksa berdecak kagum di ketinggian.
Opera yang biasanya berlangsung selama sembilan puluh menit memakai musik instrumental, dikomplementerkan suara alam yang mewakili suara kombinasi berbagai alat musikdi sini. Bagaimana dia harus menerjemahkan perihal gesekan dedaunan walikukun atau mata air yang menggeluguk keluar untuk mengganti memori mengenai musik instrumental di ingatannya. Mungkin di masa-masa Opera Titik Terang, Titi Kemuning akan berputar memakai payung biru, mengedip-ngedipkan bulu mata lentiknya pada lusinan penonton yang duduk di kursi berlengan. Namun di ketinggian ini, pinggangnya terikat pada tali kermantel yang tertaut pada satu-satunya pohon walikukun yang ada di puncak.
Saat dia mengangkat wajahnya untuk melihat apa yang membentang di cakrawala, tampak garis-garis keras yang berusaha ditutupi memakai kosmetik. Di saat yang sama suara nyanyiannya mulai melemah hingga embusan angin mampu mengaburkannya. Seorang pemain opera yang dipuja telah memilih menjadi seorang pemanjat di sisi Suryadaksa. Perempuan itu terus menyanyikan beberapa larik terakhir. Tangannya terentang di sisi-sisi tubuhnya, membiarkan angin menguapkan tetes-tetes keringat sekaligus membawa ingatan tentang Opera Titik Terang menjauh. Namun, dia salah, ingatannya terus mengoar perihal konduktor yang menggerakkan tongkat dirigen lebih cepat, memaksa Titi Kemuning untuk mempercepat larik-larik penutup yang entah kenapa selalu bernada tinggi. Opera akan diakhiri dengan bungkukan tubuhnya ke arah penonton dan dia pun membungkuk di hamparan walikukun kali ini.
“Berikan carabiner-mu,” pinta Titi membuat Suryadaksa lepas dari lamunannya. Dia segera membantu perempuan mungil itu memasang cincin kait yang akan terhubung pada tali kermantel. “Menurutmu tembakau akan membuat semuanya jauh lebih menyenangkan?” sambungnya.
“Entah itu tembakau atau bukan, semuanya akan lebih menyenangkan jika kau mau mengurungkan niatmu.”
“Bendera saya akan dikibarkan, Tuan. Tulungagung akan melihat betapa merah dan putih benderanya.” Titi Kemuning kembali mengedipkan bulu mata lentiknya untuk merayu. Dia sedikit mendorongSuryadaksamundur agar dapat mengambil salah satu kantong barang yang tergeletak.
“Periksa isinya,” ujar lelaki itu jengkel.
Titi menggangguk. Dia menghitung jumlah piton untuk memperhitungkan kuantitas alat bantu pijaknya agar dia tidak memaku tebing sia-sia. Kenangan perihal sisi utara Tebing Pegat melekat laiknya kenangan kemarin sore, tentang lusinan piton yang dipaku di jarak terlalu dekat hingga membuat Titi Kemuning terjebak di tengah-tengah,  memaksanya menunggu pertolongan orang-orang untuk membawa piton-piton lainnya. Titi Kemuning bertekad tidak ingin mengulang ketololannya di masa lalu.
“Apa ada yang kau perlukan lagi?” tanya Suryadaksa.
Titi menggeleng. Semua yang dia butuhkan telah disediakan, kecuali keberanian yang tanpa sadar mulai tenggelam jauh ke dalam kegelapan tubuhnya. Rasanya seperti kanthil-kanthil yang akan bermekaran, tetapi gulita menutupinya tiba-tiba. Titi menyentuh pundak Suryadaksa dengan lembut. “Tidakkah terpikir olehmu soal bercinta?” bisiknya untuk mengalihkan pembicaraan. Setidaknya perempuan itu berharap keberaniannya kembali muncul layaknya bebek kekuningan yang keluar dari cangkang. Meski baginya cinta adalah sesuatu yang absurd, tetapi nyatanya dia selalu mengulang-ulang pertanyaan semacam ini. Dia takut terlibat pada kata-kata “bercinta” dan sepatutnya dia menghadapinya dengan cara meminta, pikirnya.
Jemari Titi mulai menggerayangi wajah Suryadaksa yang menunduk untuk menatap netra mungilnya. Irisnya berwarna hijau muda, buah blesterandari seorang petinggi polisi dan gundik yang tinggal di sebuah pabrik gula. Lelaki ini, tanpa sadar mencuri perhatiannya. Suryadaksa yang dulu membeli tiket emasuntuk empat sesi pertunjukan dalam seminggu. Dia yang menghafal setiap nyanyian yang disuarakan Titi Kemuning untuk menunjukkan bahwa teatrikal yang dilakukannya patut diapresiasi. Dia telah menjelma menjadi bagian Opera Titik Terang yang membuat Titi Kemuning merasa istimewa hingga saat ini.
“Bercinta,” bisik Titi sekali lagi yang hampir-hampir menggigit telinga lawan bicaranya.
“Tidak mungkin,” jawab lelaki itu sesuai dugaan. “Kau sendiri tahu aku tidak mungkin melakukannya,” lanjutnya.
Titi Kemuning berdeham. “Tentu saja,” balasnya sambil menyembunyikan senyum memakai ekspresi kesal yang sengaja dibuat-buat. Dia senang karena semua berjalan sesuai keinginannya, pun keberanian itu entah bagaimana kembali muncul ke permukaan. Titi bergegas menuruni tebing Walikukun dengan hati-hati. Dia memaku piton memakai hammer di beberapa titik, kemudian turun memakai tali kermantel. Kakinya mantap memijak dinding secara vertikal, terus merosot turun dengan lompatan-lompatan lebar.

***

Setelah lusinan pertunjukan Opera Titik Terang dipertontonkan, lembaran tiket yang tersedia nyaris tidak berkurang. Penjaga loket yang merupakan perempuan gemuk paling membosankan di kota selalu menurunkan kelopak matanya hingga memejam. Bosan setengah mati, pikir Titi Kemuning yang sesekali menjenguk perempuan malang tersebut. Titi akan mendapatinya duduk di kursi kayu tanpa sandaran, setidaknya selama bertahun-tahundia melakukannya di loket yang tidak jauh lebih besar dari toilet opera.
“Kabarnya?” ujar Titi yang duduk di sebelahnya. Mereka harus saling menempel agar dapat berada di ruangan yang sama.
“Hanya desas-desus.”
“Ada lagi?”
Perempuan lain menguap sebelum menjawab. “Perang.”
“Menurutmu akan sampai di sini?”
Dia menggeleng malas.
“Tidak atau tidak tahu?”
“Kenapa tidak membicarakan sesuatu yang menyenangkan, seperti apakah akan ada pertunjukan opera lain? Tiket ini berdebu selama berjam-jam.”
“Tapi bukankah lelaki itu selalu datang untuk membelinya, Bel?” Titi terus meyakinkan.
“Maksudmu kakek tua bermata hijau?”
Titi mengangguk antusias.
Belia hanya perempuan blesteran yang mewarisi manik mata zamrud yang tidak terlalu terang. Telinganya adalah alat mata-mata yang mampu mendengar desas-desus terlirih para penjual taoge atau ibu-ibu yang berlalu lalang di jalan utama. Rambut merahnya terurai manis di kepalanya yang lonjong. Sesekali dia mengikatnya membentuk ekor kuda, kepang dua, atau lusinan ikatan kecil yang disatukan. Kadang di hari-hari yang teduh akan ada pita kuning menempel di sisi kepalanya. Belia menyukai memakai gaun-gaun panjang tanpa lengan. Di bagian bawahnya akan ada renda warna-warni  yang membuatnya tampil laiknya kaum noni. Mulutnya akan menyerapah pada kaum kulit pucat tanpa tata krama yang dia temui di opera.
“Hei Lengan Paha!” panggil pemuda berkulit pucat yang memakai kemeja lusuh tiba-tiba, “Beri aku satu tiket,” lanjutnya sambil berdiri malas-malasan.
Belia akan tersenyum, melayani sepenuh hati, lalu mengumpat habis-habisan di belakang. Katanya, “Jika bukan karena uang sialan ini, aku pasti sudah menghabisisnya,” ujar Belia kesal.
Titi hanya akan berkomentar kau benar, tidak salah lagi, atau mengucapkan sebuah kalimat ajaib yaitu sabar. Ocehan Belia tidak akan berhenti begitu saja, lidahnya akan terus berputar-putar sampai lawan bicaranya menawarkan topik lain yang terasa sama-sama membakar.
“Sepertinya aku menyukainya,” ujar Titi Kemuning terang-terangan.
“Maksudmu apa?” balas Belia terperangah.
“Dia selalu ada untukku. Sesuatu yang tidak ada lalu dia membuatnya ada, terus-menerus tanpa jeda telah membuatku luluh.”
“Kau tahu dia hanya menghibur diri setelah istrinya meninggal.”
“Caranya telah membuatku jatuh hati.”
“Kurasa dia hanya menganggapmu sebagai salah satu dari setengah lusin anak angkatnya.”
Titi Kemuning menggeleng. “Lebih dari sekadar itu,” ucapnya. Kali ini, tanpa menungu kehadiran Suryadaksa untuk menukar beberapa gulden demi selembar tiket usang, Titi memilih melambaikan tangan pada Belia. Dia kembali mengucapkan kalimat lebih dari sekadar itu dengan penekanan yang terdengar sedikit ganjil. Titi berjalan dengan melompat-lompat karena baginya dia memenangkan perdebatan sederhana, sukses besar mengalihkan topik pembicaraan dari A ke B, dan berhasil meluapkan perasaan yang mencekik ke dunia. Dia terus bersenandung sembari memakai kemeja biru dengan bawahan ketat selutut, memakai sepasang sepatu bot, dan menggenggam gagang payung kuat-kuat.
Saat tirai dibuka, bangku-bangku kosong membentang hingga ke pintu yang tersembunyi di sorot cahaya. Pemudakulit pucat yang mengolok Belia terus berteriak, “Luar biasa-luar biasa,” teriaknya sembari tertawa terbahak-bahak. Titi mulai menyanyi dengan suara tinggi. Payung birunya melambai dari satu tempat ke tempat lain. Wajahnya selalu tersenyum – dia tidak punya pilihan lain mengenai hal ini − tidak peduli untuk penonton terhormat atau penonton bajingan yang memanggil Belia asal-asalan. Lakon yang dimainkannya dibawakan dengan sempurna, tanpa celah untuk dipergunjingkan kecuali perasaan bosan karena memainkan sesuatu yang sama. Tarian terakhirnya dimulai, Suryadaksa tampak tergopoh-gopoh masuk dan duduk di barisan terdepan, lalu membungkuk untuk memberi salam pada Titi Kemuning yang tampil profesional. Rambutnya yang putih tampak basah. Sepertinya cuaca telah bosan menunjukkan kehangatan, menggantikan terik mentari dengan air hujan yang membawa nuansa dingin. Tiba-tiba bayangan Belia yang duduk diam di kursinya berkelebat di pikiran Titi Kemuning. Hujan pasti mendinginkan hati semua orang bersama dengan selesainya pertunjukan. “Benar, kan?” tanyanya pada diri sendiri.
Titi akanberdiri mematung di depan loket setelah pertunjukan selesai. “Aku pulang dulu ya, Titi,” pamit Belia berjalan ke jalan utama. Suryadaksa datang setelahnya, berdiri diam di sisi perempuan lain untuk waktu yang lama. Salah satu tangan lelaki itu menggenggam sapu tangan untuk mengelap sisa-sisa air hujan yang menempel di rambutnya. Mereka tidak bicara sembari mengamati gerimis yang bertebaran. Sesekali Titi meliriknya, lantas berpaling saat Suryadaksa menatapnya. “Mau pulang bersamaku?” tanya Suryadaksa akhirnya.
“Jika boleh saya tidak ingin diantar ke rumah.”
“Kenapa?”
“Hanya ada olok-olok untuk pemain opera di sana.”
Suryadaksa tampak berpikir.
“Saya bisa menjadi gundik Anda, Tuan,” Titi bicara percaya diri.
“Jika lebih dari itu?”
“Aku tidak akan mampu menolak permintaan orang tua yang berumur seperti Anda.”
Titi terlihat tersenyum simpul. Dia terus memaku ujung-ujung bendera sembari mengingatkenangan bertahun-tahun sebelumnya. Suryadaksa telah memberi kebahagiaan yang cukup untuk membuatnya berani melawan. Mungkin tidak sedikit gerilyawan yang putus asa, lalu bersembunyi jauh-jauh ke gunung atau berlayar diam-diam ke pulau lain. Namun bagi Titi, ini adalah perjuangan sederhana yang bisa dilakukan seorang pemain opera di masa lalu. Setelahnya dia akan kembali melakukan pertunjukan di pinggir-pinggir jalan untuk memainkan lakon tentang pemanjat yang tanpa takut mengibarkan bendera, dengan sesekali mengibarkan bendera di tebing lain. Dia mendongak untuk melihat Suryadaksa memerhatikan dengan khawatir. Wajahnya yang tua entah bagaimana selalu membuat Titi merona, seolah memberi kekuatan agar dia segera menyelesaikan tujuannya. Titi cepat-cepat menancapkan piton terakhir dengan hati-hati. Lalu bergegas naik dengan memijak piton-piton yang dia gunakan sebelumnya. Entah kenapa tiba-tiba ingatannya kembali ditarik mundur, tentang desing peluru yang merobek tubuh Belia di opera. Dia mendongak untuk melihat senyum Suryadaksa di latar belakang pohon walikukun. Wajahnya merona oleh sinar matahari yang mulai berjalan turun.
Titi mengangkat kedua sudut bibirnya untuk Suryadaksa. Tanggannya erat menggenggam piton lain untuk segera naik menemui kekasihnya. Dia menginjak piton pertama, kedua, dan Suryadaksa meluncur turun melalui punggungnya. Titi membeku. Ingatannya kembali pada gerimis di loket opera, tentang Suryadaksa yang menggenggam sapu tangan untuk mengusap helaian rambutnya yang basah oleh rintik-rintik airhujan. Perempuan itu tanpa sadar menitihkan air mata. Titi Kemuning gemetarsaat kedua matanya menyorot ke bawah, pada tanah cokelat yang tampak basah oleh tubuh Suryadaksa. Di bukit, setengah lusin tentara mengarahkan senapan. Tanpa aba-aba, Titi Kemuning dapat merasakan angin berembus membawa tubuhnya turun ke tanahnya sendiri. Tali kermantel menahan tubuhnya yang melayang di udara. Hanya ada bendera di langit dan Suryadaksa di tanah. Dia berkedip untuk menguras air yang membuat matanya kabur. Jika bisa, dia ingin memainkan opera terakhir kali, tentang pejuang yang tidak akan pernah dikisahkan perjuangannyadan Suryadaksa yang akan bertepuk tangan.




BIODATA:


Asri S tinggal di Tulungagung. Penulis adalah pecinta pohon-pohon tua di alam. Berkeyakinan sesuatu yang busuk dapat berguna melalui www.busuke.site. Dapat disapa di akun Facebook sebagai Asri S, Instagram @asri_s1597, Storial @asri4493, dan Wattpad @AsriS15.





Baca juga:















Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen - Opera yang Tidak Pernah Dimainkan - Sastra Indonesia Org"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.