Alunan Nada Hitam - Nur Ayni

Alunan Nada Hitam
Gemuruh suara tepuk tangan, menggema ke segala penjuru ruang pertunjukan. Seorang pemuda yang berada di tengah ruangan, dengan biola di tangannya, memberi hormat pada seluruh penonton di hadapannya. Pertunjukannya kali ini sukses besar. Hampir seluruh kursi penonton terisi penuh. Pemuda dengan biolanya mengumbar senyum penuh kemenangan. Tak disangka, hujatan dari orang-orang akan membawanya menuju kesuksesan.
“Selamat, kau sukses besar, Steve,” ucap seorang pria bertubuh gempal pada sang pemuda.
Pemuda  bernama Steve itu hanya membalasnya dengan senyuman hangat. Beberapa gadis memberinya buket bunga mawar, tak ada alasan untuk menolaknya, Steve lebih memilih menerima bunga-bunga mawar itu dengan lapang dada. Steve agak kewalahan dengan bunga-bunga di tangannya. Biola yang ada di tangannya, enggan ia tanggalkan. Pemuda tampan itu lebih memilih menanggalkan buket-buket mawar tak berguna itu di kursinya. Suasana ruang pertunjukan masih ramai. Hari ini tak hanya Steve saja yang tampil, melainkan beberapa musisi hebat lainnya juga ikut memeriahkan pagelaran bulanan di kota.  Steve yang seorang pebiola profesional di kotanya, diundang secara khusus oleh sang Gubernur.
“Kau hebat, Steve,” ucap Pak Gubernur saat mengundang Steve secara langsung di kediamannya.
Steve tak bisa menolak, ia juga ingin menujukkan pada dunia bahwa ia bisa, ia hebat, ia bukan pebiola lemah seperti yang orang-orang pikirkan. Pemuda itu akan menunjukkan permainan hebatnya, ia muak akan olok-olok para makhluk yang membencinya. Dan hari ini, ia sudah menjawab habis seluruh cacian yang sudah lama menggema dalam telinganya. Biola coklat antik, dan busurnya sudah berbicara. Steve Gabriel, seorang pebiola hebat dengan biola legendaris yang ada di tangannya menunjukkan pada dunia kalau ia seorang pebiola yang sesungguhnya.
“Hei, bukankah orang itu yang sudah bersekutu dengan iblis. Kudengar biola di tangannya itu pembawa kematian.” Bisi-bisik dari para penonton menerobos dalam liang telinga Steve. Pemuda itu marah, tangannya makin menggenggam erat biola beserta busur biolanya.
“Iya, pemuda itu sudah bersekutu dengan iblis. Cih, pantas saja permainan biolanya bagus.” Suara itu terus saja mengganggu telinga Steve, pemuda itu sudah tak tahan lagi. Waktu 2 tahun yang ia gunakan untuk bersembunyi dari orang-orang itu, belum mampu membungkam mulut besar mereka. Sia-sia saja permainan biolanya tadi, mereka tetap saja menganggap seorang Steve Gabriel, memperoleh kepiawaiannya dalam bermain biola lewat bantuan iblis.
Pak Gubernur mendatangi Steve yang masih terpaku dengan biola yang ia genggam erat. Hatinya terus merintih sakit atas apa yang orang-orang katakan akan dirinya. Pak Gubernur menatap Steve heran, pria berjenggot itu nampak sedikit ketakutan melihat raut wajah Steve yang jauh berbeda dari saat ia memainkan biolanya beberapa menit lalu.
“Kau tak apa, Steve?” tanya Pak Gubernur dengan lembutnya.
“Aku sakit,” jawab Steve parau.
Pak Gubernur mengernyitkan dahinya setelah mendengar jawaban Steve. Steve bahkan terlihat sangat sehat, mana mungkin pemuda di hadapannya kini sedang sakit.
“Kurasa kau butuh istirahat,” saran Pak Gubernur disertai senyum penuh wibawanya.
Steve mengangguk lemah meng-iyakan saran Pak Gubernur. Pria berjenggot itu meninggalkan Steve di tengah ruangan yang masih saja ramai. Para penonton masih asik ber-foto ria dengan para musisi yang hadir. Jauh di lubuk hati Steve, ia juga ingin dihargai seperti teman seperjuangannya. Namun apa yang pemuda itu dapat? hanya cacian dan pengucilan yang selalu menyergapnya. Steve lelah dengan tudingan miring akan biolanya. Hatinya bergejolak hebat. Tangannya makin menggenggan biola beserta busurnya. Tanpa sadar, senar-senar biolanya melukai telapak tangan pemuda itu. Darah bercucuran dari tangannya, Steve tak lagi peduli akan nyeri yang menjalari tangannya. Nyeri di tangannya masih dapat terobati. Namun, nyeri di hatinya tak akan pernah bisa diobati bahkan oleh obat termahal pun yang pernah ada.
Ruangan mendadak sepi seketika, saat lampu di ruangan pertunjukan mati. Semua orang berteriak histeris, terutama para wanita dengan suara 8 oktaf mereka. Tak ada yang tahu bagaimana bisa ruangan itu mendadak gelap gulita. Semua orang ketakutan, tak ada yang bisa mengenal kawan maupun lawan. Namun sesuatu yang lebih mencengangkan terjadi, alunan nada dari dawai biola mengiringi jeritan ketakutan para penonton pagelaran. Sebuah alunan nada berdarah yang membuat siapapun ingin mengakhiri hidupnya.
“Hentikan! Kutahu ini pasti kau, dasar pengikut iblis!” teriak Pak Gubernur sembari menutup telinganya.
Alunan nada itu masih saja terdengar di telinga para penonton. Teriakan histeris masih juga terdengar, nampaknya para penonton pagelaran ingin mengalahkan alunan nada kematian dari sebuah biola yang dimainkan. Alunan itu begitu indah, namun entah mengapa orang-orang lebih memilih menutup telinga mereka. Mereka takut jika mendengar alunan nada hitam itu, mereka akan dibunuh oleh iblis yang bersemayam di biola misterius itu. Kalau seseorang terpaksa mendengar alunan nada hitam itu, maka pilihan mereka hanya ada dua; bunuh diri, atau dibunuh iblis terkutuk.
“Aku lebih memilih mati, dasar Steve keparat!” Suara penuh amarah menggema di penjuru ruangan. Namun hebatnya, tak menghentikan alunan nada indah yang terus terdengar dari gesekan dawai-dawai biola dan busurnya. Lampu ruangan masih padam. Suara-suara jeritan penuh ketakutan, sudah tak lagi terdengar bersamaan dengan bunyi sirene mobil polisi yang mendekat menuju tempat kejadian.
Derap sepatu terdengar jelas mendekati ruangan pagelaran yang semula gelap menjadi terang benderang. Para polisi terkejut melihat mayat-mayat bergeletakkan di lantai. Darah mengucur deras dari bagian-bagian tubuh mereka. Hanya ada satu yang masih hidup, seorang pemuda masih berdiri tegak dengan merundukkan kepala. Biola yang ada di tangannya sudah tak ada lagi rimbanya. Steve Gabriel, pemuda itu satu-satunya seorang yang bisa dijadikan saksi.
“Pemuda iblis,” geram dari salah satu polisi yang datang.
“Hei pemuda, kemarilah! Aku ingin meminta penjelasanmu,” teriak seorang polisi yang terlihat paling rapi di anatara yang lain.
Steve masih saja merunduk, pemuda itu tak berkutik sama sekali dari posisinya. Para polisi semakin ngeri dibuatnya.
“Mungkin dia merasa bersalah,” kata seorang polisi wanita pada komandannya.
Si komandan dengan beraninya melangkahkan kaki menuju arah Steve. Ia takkan memaafkan pemuda itu, jika ia benar-benar telah membantai seluruh penonton pagelaran musik bulan ini.
“Apa kau tak mendengar perintah kami, Nak?”
Bug.
Steve tumbang, darah mengucur hebat di perutnya. Komandan polisi itu terbelalak seketika, ia tak menyangka pemuda itu juga tewas. Lalu siapa dalang dari semua ini?
“Pak ... Pak ....”
Sang komandan menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Matanya kembali terbelalak setelah menjumpai sosok di hadapannya. Sosok pemuda yang sama persis dengan Steve, dan biola antik di tangannya, tengah menyeringai pada sang komandan.
“Kau, Steve?” tanya komandan dengan penuh rasa was-was.
“Aku bagian dari diri Steve. Aku kembaran, Steve hahaha.”
Seluruh polisi yang datang dibuat ternganga mendengar ucapan sang pemuda. Jadi selama ini mereka telah memfitnah orang yang salah. Mereka begitu kejam terhadap seorang pemuda yang bertekad besar seperti Steve.
“Kalian begitu bodoh! Aku selalu bersembunyi di balik layar. Aku ingin membunuh kalian semua!” ucapnya dengan seringai kejam di wajahnya. “Aku muak dengan cacian kalian akan biola antik kakekku, kalian menghujat kakekku 10 tahun silam. Aku sangat ingat bagaimana kalian mengolok permainan biola kakekku. Maka dari itu, aku ingin membalas kebiadaban orang yang tak mau menghargai sesamanya!” lanjutnya lagi.
Jleb.
Busur biola yang runcing mendarat di perut sang komandan. Pemuda berparas serupa dengan Steve tertawa puas melihat komandan polisi tergelatak lemah di ruangan. Pemuda itu mulai menyangga biolaya di pundak, ia sudah siap memainkan alunan nada hitamnya lagi. Para polisi yang ada di tempat kejadian, memilih menembak diri sendiri daripada mendengar alunan nada hitam pembawa kematian itu.
“Dasar manusia bodoh! Kalian sendiri yang menciptakan bualan akan biola antik kakekku. Padahal, biola ini hanya biola biasa. Tapi karena kebodohan kalian, kalian membunuh diri kalian masing-masing,” ucapnya dengan menggesek dawai-dawai biolanya.
“Kau benar, Kak.” Steve bangun dari kematian yang ia rekayasa.
Saudara kembar itu menikmati alunan nada hitam yang mengalun dari biola antik kakeknya. Biola yang digadang-gadang memiliki kekuatan magis, nyatanya hanya sebuah biola biasa. Ini hanya soal manusia yang tak mau berpikir rasio terhadap dunia nyata.



Biodata Penulis:
Ay atau Nur Ayni merupakan seorang pecinta sastra yang sampai sekarang belum jug bsa menerbitkan karyanya. Gadis yang tidak suka hujan ini, berumur 16 tahun dan dapat ditemui di akun Instagramnya yang bernama @ayni_08 atau akun wattpad-nya @Achan_08

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Alunan Nada Hitam - Nur Ayni "

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.