Terbakar - Andreas Agil Munarwidya



Maura memang terbiasa pulang malam. Kantor di mana ia bekerja selalu memberikan tugas lembur yang kadang kurang manusiawi. Tapi mau bagaimana lagi? Harga kebutuhan sehari-hari yang mulai merangkak naik, mengharuskan Maura menambah pundi-pundi pemasukannya lebih banyak lagi, terlebih di kota metropolitan seperti Jakarta ini.

“Mau ke lantai berapa, Kak?” sapa seseorang ramah. 

Maura terkesiap karena lift sudah kembali terbuka dengan petugas kebersihan yang sudah berdiri di dalamnya. “Eh.. la..lantai enam.” Maura tergagap. “Aduh, Mas ini, bikin kaget saja. Aku tadi enggak lihat Mas lho.”

Petugas kebersihan itu tersenyum. “Maaf, Kak.”

“Enggak apa-apa,” tukas Maura sambil kembali masuk ke dalam lift yang pintunya langsung menutup.

Lift mulai berjalan lambat.

“Saya baru saja turun dari tangga. Tadi liftnya macet, tapi ini sekarang sudah betul lagi,” ucap petugas kebersihan itu meredakan ketegangan.

Maura tampak heran. Saya baru saja turun dari tangga? Sebelum petugas kebersihan itu datang, Maura sama sekali tidak mendengar bunyi pintu tangga atau lift terbuka. Ia tidak merasakan kehadiran orang sampai melihat petugas kebersihan itu di dalam lift.

“Kenapa, Kak?” tanya petugas kebersihan itu tanpa memalingkan muka. Suaranya riang tetapi terdengar sedikit parau.

Dari tempat Maura berdiri tampak sebagian bayangan wajah petugas kebersihan itu di cermin. Bayangan itu agak buram karena terdistorsi, tapi tetap masih tampak di mata Maura. Terlihat beberapa bercak hitam padahal tadi tidak ada. Maura yakin itu. Tiba-tiba lift berguncang keras seperti hendak macet lagi. Maura nyaris terjerembab dan petugas kebersihan itu sedikit oleng.

“Ah, memang kapan-kapan perlu perbaikan total, bukan setengah-setengah,” keluh petugas kebersihan itu. “Iya, enggak, Kak?” lanjutnya dengan suara yang semakin parau.

Maura diam. Ia semakin sukar bernapas. Pasalnya, sewaktu petugas kebersihan itu oleng, Maura sempat melihat wajahnya. Bukan lewat cermin, tetapi langsung melihat wajahnya. Wajah itu, dari pelipis sampai dagu tertutup bercak gelap yang sebagian kehitaman: gosong bekas terbakar.

<><><> 

Sumirat terperanjat mendapati kabar bahwa anak sulungnya yang bekerja di Jakarta meninggal dunia dua hari yang lalu karena bunuh diri dengan cara membakar dirinya sendiri. Selama ini, Sumirat mengenal Bram sebagai anak yang berbakti, religius, dan tidak mudah putus asa. Memang terjadi perubahan yang cukup signifikan ketika Bram pulang sebentar ke kampung halaman dari kerjanya di Jakarta. Namun, Sumirat tidak khawatir karena yakin bahwa Bram pasti akan bisa melaluinya. Sayangnya salah. Bram malah meninggal dengan cara yang jauh dari kata mulia.

Pernah suatu hari Bram kedapatan merenung lama sekali. Raut wajahnya ruwet, seperti banyak sekali yang dipikirkan. Sumirat sebagai satu-satunya orang tua Bram cepat tanggap menanyakan kondisi yang sesungguhnya. Tapi nihil. Bram malah bungkam. Seperti enggan menceritakan bebannya.

Bram berlaku seperti itu sebenarnya bermaksud agar Sumirat, ibunya itu, tidak terlalu memikirkan nasibnya. Bram tidak tega manakala ibunya yang sudah renta itu harus berkutat pada kemiskinan dan kondisi tubuh yang sering sakit-sakitan. Menceritakan permasalahannya pada ibunya tentu malah akan menambah beban pikirannya. Jadi, wajar bila Bram memutuskan untuk diam di hadapan ibu yang sangat disayanginya itu –dan ini yang akhirnya menjadi bumerang bagi Bram sendiri.

“Tidak punya uang, heh? Alasan macam apa itu!” bentak Tompul dengan logat Bataknya yang khas.

“Sekarang saya memang belum punya uang, Bang ....

Alah! Stop tipu-tipu e! Belum tahu kitorang marah ya?” Obet ikut-ikutan.

Sejurus kemudian, bogem dan sepakan keras bertubi-tubi mendarat ke perut dan wajah Bram yang sudah terlihat kuyu. Teman-teman kos Bram yang ada di situ pun tidak bisa apa-apa melihat Bram dihajar begitu sampai muntah darah.

“Kukasih kau waktu tiga hari. Kalau tidak, keek! Lo bakal mampus. Hahaha.”

Tompul bergegas pergi diikuti Obet yang gemas kemudian menendang Bram sekali lagi.


<><><> 

(Bersambung)


Biodata Penulis:



Bernama lengkap Andreas Agil Munarwidya, pria ini biasa dipanggil Agil sedari kecil. Dilahirkan di Cilacap, 13 November 1990, Agil adalah seorang bungsu dari dua bersaudara. Sekarang tinggal di asrama SMK Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang sekaligus menjadi pengajar di sana. Mempunyai akun facebook dengan nama Akh Andre Al-Agiel. Adapun nomor handphone yang dapat dihubungi, yaitu: 08995042240. 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Terbakar - Andreas Agil Munarwidya"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.