Ibu Periku - Siti Aidah




Ibu Periku

Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua


Aku hafal betul hujan Desember 15 tahun lalu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang berumur 10 tahun, waktu itu.
Sekarang apa bisaku, hanya menyesali potongan kenangan pahit dan manis sekaligus. Sungguh membuatku menderita.


"Ibu ... Ibu ..." aku menerobos massa yang sedang menyiram pantiku.
Aku tertunduk lemas, begitu melihat pantiku sudah habis dimakan api.
Seorang Ibu mengajakku, "Nak, mari ke rumah sakit, Ibu panti ada di sana."
Aku mengangguk menyetujui ajakannya.
Ibu itu membantuku, dengan dipapahnya. Aku sadar tanganku masih memegang sekantung kresek gorengan pesanan
Ibu panti, Ibu periku.


Tak butuh lama untukku sampai ke rumah sakit, setelah sampai di ruangan Ibu peri, kulihat dia tak sadarkan diri.
Dokter yang memeriksanya memvonis Ibu periku sakit paru-paru stadium akhir, sedikit kemungkinan nyawanya bisa
tertolong. Ibu tadi meninggalkanku, memberi waktu untuk aku dan Ibu periku.
Kupegang tangan Ibu periku yang mulai lemah. Tak lama kemudian, kurasakan sedikit pergerakan tangannya.


"Nisa ..." ucap Ibu periku, nada bicaranya terdengar lemah.
"Iya, bu," aku membiarkan tangannya mengelus mukaku.
"Kau cantik."
"Akh, Ibu bisa saja,"
"Mana yang sakit, bu?"tanyaku begitu melihat ia memegang dadanya.
"Tidak ada, Ibu baik-baik saja."
Aku mencium tangannya lembut. Kubisikan kata-kata ajaibnya dalam hati, Allah menghadiahkan dua tangan, walau
sejatinya kedua tangan itu bukan sepasang sayap yang akan membawamu terbang. Tapi percayalah! Dengan
mengucapkan bismillah, semua yang kau inginkan akan terbang. Sampai kepada Tuhan.' Ibu peri menempelkan
kedua tangannya, mengajariku cara berdoa saat aku baru berusia 4 tahun.
Tanpa sadar, aku melamun waktu itu, sampai-sampai aku meneteskan air mata.
"Nis, apa kau ingat dengan keinginanmu?"
"Aku ingin menjadi dokter," ucapku polos.
"Ibu mendukungmu, jangan pernah berhenti untuk berdoa dan berusaha. Ibu akan selalu mendoakanmu,"Ibu periku
menjeda ucapannya."Ibu titip teman-teman panti, kalian harus suskes bersama, kalian harus tetap akur walaupun nanti
Ibu sudah pergi."

Aku baru sadar, kalau teman-teman pantiku yang selamat sudah memenuhi ruangan Ibu peri. Mereka ikut terharu, dan
mendekati Ibu periku
"Ibu jangan bilang seperti itu," ucapku Dea, teman panti yang seumuran denganku. Dia menangis tersedu-sedu dan
tak bisa menahan air matanya lama.
"Tak, apa. Ibu rasa harapan kalian akan sampai pada Tuhan,"
"Ibu yakin kalian itu anak baik, Tuhan pasti akan mengabulkan."
Kurasakan pegangan Ibu peri melemah, dan ia mulai memejamkan matanya.
Sungguh, aku merasa kehilangan.


Sampai saat ini pun, aku tak akan pernah bisa melupakan petuahnya, dan yang paling kuingat Ibu periku tak pernah
lupa mengingatkan aku dan teman-teman panti untuk mendirikan salat dan membaca al-qur'an, karena di saat sedang
melakukan itulah kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan, membicarakan banyak harapan. Aku setuju, karena aku pikir,
doa-doa adalah sepucuk surat untuk Tuhan.


Aku berada di ruangan impianku sedari kecil, yaitu ruangan dokter. Dan beruntungnya, aku berada berada di rumah
sakit terkenal di Korea Selatan sebagai ahli bedah. Aku menunggu orang terhormat, sambil memikirkan kata-kata
yang nanti akan kuberikan padanya.
"Akh, Ibu peri aku ingin pulang ke Indonesia," gumamku sambil melihat foto gedung sate dan teman-teman pantiku
setelah mendapat Ibu peri baru.


Pintu ruangan diketuk seseorang, aku memberanikan diri membuka pintu, "Silakan duduk, Bapak Presiden
Korea Selatan yang terhormat."


Bapak Presiden pun duduk di kursi yang disediakan, "Terima kasih, kau dokter hebat yang telah menyelamatkan
putriku tercinta, dan bisa menangani penyakit paru-parunya yang stadium 2 dengan telaten."


"Kita pasti ingin menjaga orang yang disayangi, namun apa daya jika Tuhan berkehendak lain. Maka dekatlah dengan
Tuhan agar orang yang kita sayangi dijaga-Nya di saat kita tak mampu menjaga. Dan saya yakin, bapak sudah
melakukan itu," ucapku.  

-TAMAT-


Biodata Penulis

Siti Aidah, lahir di Bandung Barat 26 November 1999. Sekarang duduk di kelas 3 MA Karya Madani.
Alamat Kp. Cicariu Rt 18 Rw 07 Desa Ciroyom Kec. Cipeundeuy Kab. Bandung Barat. Alamat email
sitiaidah747@gmail.com . Akun fb; Siti Aidah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Ibu Periku - Siti Aidah"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.